BRIEF.ID – Bung Karno, sebagai pemimpin yang mengedepankan Non Alignment (Netralitas) dengan gerakan-gerakan anti imperialis serta membangun hubungan dengan blok Timur, membuat posisinya kian disorot oleh Barat, khususnya Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa Barat.
Di mata mereka, Soekarno dipandang sebagai ancaman bagi stabilitas politik kawasan Asia Tenggara yang sangat strategis. Dalam sejumlah dokumen yang belakangan terungkap, baik dari CIA maupun arsip-arsip lain, terlihat bahwa G30S/PKI bukan sekadar insiden domestik melainkan sebuah grand design dari upaya untuk menggulingkan Soekarno.
Keterlibatan unsur militer, politik internasional, dan media Barat dalam membentuk opini dunia terhadap Soekarno jelas memperlihatkan bagaimana peristiwa ini direncanakan dan digunakan untuk melemahkan otoritasnya.
Namun, hingga wafatnya pada 21 Juni 1970, tuduhan keterlibatan Soekarno dalam peristiwa tersebut tidak pernah terbukti secara hukum. Bung Karno tidak pernah menjalani proses pengadilan yang adil, bahkan untuk membersihkan namanya dari tuduhan bahwa ia berada di balik pemberontakan G30S/PKI.
Hal ini menjadi ironi besar dalam sejarah Indonesia, di mana seorang pemimpin besar bangsa yang telah berjuang untuk kemerdekaan malah jatuh oleh permainan kekuasaan global yang penuh dengan konspirasi.
Bingkai Hitam Putih
Salah satu faktor utama yang membuat Soekarno terjebak dalam stigma keterlibatan G30S/PKI adalah dominasi narasi tunggal yang dikendalikan oleh kekuatan media, baik domestik maupun internasional.
Selama rezim Orde Baru di bawah Soeharto, sejarah peristiwa G30S/PKI disajikan dalam bingkai hitam-putih yang memperlihatkan Soekarno sebagai figur yang setidaknya memiliki simpati terhadap komunisme, meski tidak secara langsung terlibat dalam pemberontakan.
Dalam pelajaran sejarah selama rezim Orde Baru, G30S/PKI dijadikan alat propaganda politik untuk melegitimasi kekuasaan Suharto dan menghilangkan peran penting Soekarno dalam narasi bangsa.
Drama politik ini didukung oleh penghapusan bukti-bukti sejarah yang berlawanan, termasuk dokumen-dokumen internasional yang mengungkapkan keterlibatan pihak asing dalam penggulingan Soekarno. Sejak tahun 1966 hingga pencabutan TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967, nama baik Bung Karno dicoreng oleh penggambaran sistematis yang menyudutkannya.
Publik terjebak dalam narasi yang dipaksakan, tanpa mendapatkan ruang untuk menilai secara kritis dan obyektif mengenai apa yang sebenarnya terjadi di balik peristiwa G30S/PKI.
Pencabutan ketetapan tersebut pada akhirnya membuka ruang untuk pelurusan sejarah yang sudah lama dinanti-nantikan. Bagaimana sebuah bangsa memahami sejarahnya akan mempengaruhi identitas nasional dan orientasi masa depan. Sebagai Bapak Bangsa yang telah menggali Pancasila sebagai dasar negara, Soekarno layak mendapatkan kehormatan dan pengakuan kembali atas jasa-jasanya.
Pelurusan sejarah ini juga penting untuk menyingkirkan stigma yang selama bertahun-tahun menghantui keluarga Bung Karno, yang hingga kini masih merasakan dampak dari pengucilan politik terhadap Soekarno.
Keluarga, masyarakat, dan generasi muda perlu diajak untuk memahami bahwa sejarah adalah proses yang dinamis, bukan narasi statis yang hanya ditulis oleh pemenang.
Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu faktor utama yang membuat posisi Soekarno rentan adalah kebijakan luar negerinya yang tidak berpihak pada blok Barat, terutama Amerika Serikat.
Penulis : Dr Benny Susetyo -Sekretaris Dewan Nasional Setara
No Comments