BRIEF.ID – Indonesia harus memperkuat potensi komoditas untuk ketahanan ekonomi dalam menghadapi ancaman perang dagang yang digaungkan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump.
Hal itu, menjadi salah satu topik pembahasan dalam diskusi bertajuk “Testing Indonesia’s Economic Resilience Amid Trade War Uncertainties” yang diselenggarakan D’Origin Advisory, di Jakarta, Senin (14/7/2025).
Diskusi tersebut menghadirkan 3 pembicara terkemuka di bidang ekonomi dan pasar keuangan, yakni Kafi Kurnia (Founder of Oblagers), Budi Hikmat (Head of Portfolio Analytic Group, Bahana TCW Investment Management), dan Edhi Pranasidhi (Pengamat PasarModal), serta moderator Cynthia Nadeak, Co-Founder D’Origin Advisory.
Diskusi ini menyoroti dinamika geopolitik global yang menjadi titik balik strategis bagi ekonomi dunia, termasuk kebijakan suku bunga ekstrem AS, dan dampak kebijakan tarif impor barang Indonesia sebesar 32%.
Para pembicara menekankan pentingnya fleksibilitas kebijakan domestik, penguatan fiskal, serta daya tahan konsumsi rumah tangga sebagai penopang utama stabilitas ekonomi nasional.
Selain itu, Kafi Kurnia menyoroti potensi besar dari komoditas pertanian, kelautan, serta pertambangan, yang harus dimanfaatkan Indonesia, untuk menghadapi tekanan perang dagang dari AS.
Dengan komoditas pertanian, kelautan sertab pertambangan yang memadai, Indonesia harus berupaya membuka pasar dan meningkatkan kerja sama dengan negara-negara di bluar AS, terutama Uni Eropa, Tiongkok, dan Uni Emirat Arab.
Kafi yang memaparkan presentasi bertajuk “Ekonomi Tangguh” menyoroti ironi antara besarnya potensi ekonomi Indonesia dan praktik pengelolaan fiskal yang dinilai tidak efisien.
Dalam paparannya, Kafi menekankan bahwa pemborosan anggaran oleh pemerintah merupakan hambatan serius terhadap kemajuan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Dia menyoroti total penerimaan negara tahun 2024 sebesar Rp3.350,3 triliun masih jauh di bawah estimasi kerugian akibat korupsi yang mencapai Rp1.300 triliun per tahun.
“Hal ini, mencerminkan ketidakseimbangan yang perlu segera diperbaiki melalui transparansi dan efisiensi belanja negara,” kata Kafi.
Dia menambahkan, selain komoditas, ada potensi kekuatan ekonomi rakyat dari kontribusi remitansi para pekerja migran Indonesia, yang mencapai Rp253,3 triliun pada 2024 dan diproyeksikan naik menjadiRp433,6 triliun pada 2025.
Konsumsi Domestik
Sementara Budi Hikmat menjelaskan ketahanan ekonomi Indonesia tahun 2025 cukup solid, didukung oleh konsumsi domestik yang menyumbang lebih dari 50% Produk Domestik Brruto (PDB), serta utang publik yang rendah (~40% PDB), dan cadangan devisa yang memadai.
“Indonesia berada dalam posisi unik di tengah rivalitas AS–China, dan mampu memainkan peran netral yang menguntungkan dalam strategi ekonomi regional,” kata Budi.
Sama sepeti Kafi, Budi pun mendorong pemerintah akan pentingnya memanfaatkan potensi komoditas sebagai salah satu kekuatan ekonomi Indonesia.
Dia menyoroti komoditas pertambangan, yang harus didorong transaksinya bukan hanya di sektor perdagangan, tetapi juga di pasar keuangan.
“Beberapa komoditas yang menjanjikan antara lain nikel dan CPO sebagai wild card dalam menghadapi perlambatan global dan disrupsi rantai pasok,” ujar Budi.
Meski demikian, dia mengingatkan bahwa kekuatan struktural ini harus diikuti dengan reformasi kelembagaan agar berdampak jangka panjang.
Pasar Keuangan
Sedangkan Edhi Pranasidhi menyoroti dampak kebijakan moneter global terhadap pasar keuangan domestik, terutama terkait usulan pemangkasan suku bunga acuan Bank Sentral AS atau Federal Reserve (The Fed) sebesar 300 basis poin.
Menurut Edhi, hal itu menciptakan peluang bagi sektor komoditas dan perbankan di pasar saham Indonesia, tetapi juga mengandung risiko besar seperti tekanan inflasi, lonjakan harga aset, dan pelemahan kurs.
Di tengah ketidakpastian perang dagang, Edhi mengapresiasi respons cepat Bank Indonesia dalam menstabilkan Rupiah dan peran penting diplomasi ekonomi Presiden Prabowo yang berhasil mengamankan jeda tarif 90 hari dengan AS.
Edhi menyarankan agar momentum stabilisasi ini dimanfaatkan untuk memperkuat daya saing ekspor, memperluas pasar alternatif, dan mempercepat literasi keuangan, serta reformasi struktural di dalam negeri.
“Ekonomi kreatif dan UMKM juga harus didorong, sebab dampak perang dagang akan lebih memukul sektor perbankan dan ekspor komoditi, jadi harus ada alternatif dan antisipasi kebijakan,” ujar Edhi. (jea)