BRIEF.ID – Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) Amerika Serikat memutuskan menahan suku bunga Bank Sentral AS atau Federal Reserve (The Fed) di kisaran 4,25%-4,5% untuk mengantisipasi dampak kebijakan tarif Presiden AS, Donad Trump.
Gubernur The Fed, Jerome Powell, menyatakan suku bunga acuan atau Fed Fund Rate (FFR) ditahan karena faktor ketidakpastian pasar, dan untuk mengantisipasi dampak dari kebijakan tarif Presiden AS, Donald Trump, yang akan diterapkan terhadap sejumlah negara mulai Februari 2025.
“Kondisi ini membuat FOMC memutuskan untuk tidak terburu-buru memangkas suku bunga acuan, karena ekonomi AS masih cukup kuat dan inflasi masih perlu dipantau, seiring dampak kebijakan tarif Presiden Donald Trump,” kata Powell, dalam konferensi pers setelah pertemuan FOMC.
Menurut Powell, kebijakan moneter saat ini sudah cukup terukur, dan mereka akan tetap berhati-hati untuk memastikan langkah yang diambil tidak terlalu agresif.
Meskipun fundamental ekonomi seperti tingkat pengangguran tetap rendah dan aktivitas ekonomi secara keseluruhan cukup baik, The Fed tetap waspada terhadap perubahan kebijakan dari pemerintahan baru di bawah Presiden Donald Trump yang dapat mempengaruhi perekonomian, terutama kebijakan terkait tarif impor, imigrasi, pajak, dan regulasi lainnya.
Terkait dengan itu, The Fed akan terus memantau perkembangan indikator ekonomi, khususnya terkait inflasi dan pasar tenaga kerja, sebelum memutuskan langkah selanjutnya terkait kebijakan suku bunga acuan.
“Federal Reserve akan menunggu untuk melihat kebijakan apa yang diterapkan pemerintah AS sebelum menilai dampaknya terhadap inflasi dan pasar tenaga kerja,” ujar Powell.
Dia menyampaikan, The Fed mencatat bahwa inflasi AS, meskipun telah mengalami penurunan dibandingkan dengan puncaknya setelah pandemi COVID-19, masih tetap berada di atas target tahunan Fed yang sebesar 2%.
Hal ini, membuat The Fed lebih berhati-hati memangkas FFR, meskipun pada akhir tahun lalu The Fed sempat memangkas suku bunga beberapa kali. Pasalnya, The Fed menilai suku bunga perlu ditahan pada tingkat saat ini sampai ada lebih banyak bukti yang menunjukkan penurunan inflasi yang lebih signifikan.
“Ada risiko yang perlu diperhatikan jika mereka menurunkan suku bunga terlalu cepat atau terlalu banyak, karena hal ini bisa menghambat kemajuan dalam menurunkan inflasi,” tutur Powel.
Dalam pernyataan resmi setelah keputusan kebijakan, The Fed menyatakan bahwa meskipun inflasi tetap tinggi, aktivitas ekonomi terus berkembang dengan pesat dan pasar tenaga kerja tetap solid. Tingkat pengangguran telah stabil pada level rendah selama enam bulan terakhir, dan kondisi pasar tenaga kerja juga terbilang sehat.
Dia menambahkan, kebijakan moneter yang diterapkan oleh The Fed didasarkan pada perkembangan ekonomi dan tujuan utama mereka, yaitu menjaga tingkat pengangguran yang rendah sambil menurunkan inflasi menuju target 2% yang sudah ditetapkan.
“Kebijakan moneter saat ini sudah cukup terukur dan diposisikan dengan baik untuk menghadapi tantangan yang ada,” ungkap Powel
Keputusan itu, membuat pasar saham AS anjok. Tiga indeks utama di New York Stock Exchange atau Bursa Wallstreet ditutup melemah pada perdagangan Rabu (29/1/2025), seiring sentimen negatif yang dilancarkan investor menyikapi keputusan FOMC
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) terkoreksi 0,31% atau 136,83 poin dan ditutup di 44.713,52. Indeks S&P 500 terpangkas 0,47% dan berakhir di level 6.039,31. Sedangkan indeks Nasdaq Composite melemah 0,51% ke posisi 19.632,32.
Sementara kontrak berjangka suku bunga jangka pendek menunjukkan bahwa investor mengharapkan The Fed untuk menunda pemotongan suku bunga lebih lanjut hingga sekitar bulan Juni 2025, yang memberi indikasi bahwa pasar melihat kebijakan suku bunga tetap selama beberapa bulan ke depan.