Pilpres 2024, Ganjar Pranowo Siap Kembali Menjadi Rakyat

February 19, 2024

BRIEF.ID  – Calon Presiden (Capres) nomor urut 3 Ganjar Pranowo menegaskan bahwa tidak ada perjuangan yang sia-sia dan dirinya akan kembali ke tengah rakyat jika kalah pada Pilpres 2024.

Mantan Gubernur Jawa Tengah (Jateng) ini menyebut bahwa  dulu dirinya adalah rakyat kemudian mengemban jabatan publik. Artinya, dari rakyat dan akan kembali menjadi rakyat.

“Tidak ada perjuangan yang sia-sia. Tentu saja semua masih semangat,” kata Ganjar saat hendak meninggalkan Posko Pemenangan di Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (14/2/2024).

Diketahui, bahwa sejumlah lembaga survei yang melakukan hitung cepat (quick count) Pilpres 2024 memenangkan paslon nomor 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU) sedang melakukan perhitungan manual secara berjenjang.

Adapun, Gibran adalah putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang melaju menjadi Calon Wakil Presiden (Cawapres) setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Netralitas Aparat

Lebih lanjut, Ganjar menyinggung soal netralitas aparatur pemerintah dalam proses Pilpres 2024. Dia menceritakan, ketika Jokowi mengundang makan siang ketiga capres pada Senin (30/10/2023), bertanya: “Ada apa di bawah, di masyarakat?”

Saat itu, lanjut Ganjar, capres Anies Baswedan menjawab bahwa di tengah masyarakat ada ‘suara sumbang’ yaitu agar aparat netral.

“Oh iya, iya didengarkan,” ujar Ganjar menirukan jawaban Jokowi kala di acara podcast Abraham Samad SPEAK UP, Sabtu (17/2/2024).

Menurut Ganjar, Presiden Jokowi juga menuturkan bahwa pada hari itu ada pertemuan dengan TNI, Polri, ASN,  penjabat gubernur, dan  penjabat bupati. Presiden Jokowi akan menyampaikan perihal netralitas saat Pilpres 2024.

“Dan, betul disampaikan. TNI, Polri, menteri, dan semuanya harus netral tidak kampanye. Tetapi, tiba-tiba semua nabrak sekarang, remnya mendadak,” kata Ganjar.

Oleh karena itu, lanjut Ganjar, komitmen menjaga netralitas selama rangkaian Pemilu 2024 adalah masa pertaruhan kenegarawanan dari seorang pemimpin. Ketika itu tidak terjadi, maka sah jika masyarakat memberi stempel tidak fair, nepotisme, hingga cawe-cawe kepada presiden dalam Pemilu 2024.

Ganjar mengakui dulu, sempat membela Jokowi ketika presiden mengatakan akan cawe-cawe pada Pemilu 2024. Ketika itu Ganjar beranggapan bahwa Jokowi akan cawe-cawe jika proses pemilu ngawur, sehingga  pesta demokrasi perlu dikawal.

“Yang saya pikir begitu, karena beliau orang baik. Yang saya pahami, yang saya kenal, yang saya ikut kampanye. Tetapi kenapa berubah, saya tidak tahu,” tukasnya.

Oleh karena itu, Ganjar mengingatkan pentingnya etika dan moral, karena suatu tindakan yang tidak melanggar hukum belum tentu pantas secara etika.

Penguasa Sering Lupa

Ganjar mengatakan, ketidak netralan pemerintah mendorong gejolak di tengah masyarakat. Hal itu terlihat dari gerakan moral mahasiswa, kampus, dan para guru besar menjelang pencoblosan pada 14 Februari lalu.

Sehingga mengingatkannya seperti prakondisi tragedi 1998 ketika menurunkan Presiden Soeharto. Menurutnya, pemerintah menunjukkan gejala bahwa orang berkuasa sering lupa. Ingin berkuasa selama-lamanya.

Jelang pemilu, menurutnya, Ketua MK sebelumnya yang merupakan ipar Presiden Jokowi, Anwar Usman, melanggar etik. Demikian juga  Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asya’ri dan para anggota komisioner KPU.

“Apa yang mau dibicarakan soal demokrasi, dan peringatan satu dan dua tidak diindahkan maka kampus bicara. Ini menunjukkan demokrasi tidak baik-baik saja, tidak berjalan sesuai nilainya, maka masyarakat mengingatkan. Peringatan masif tersebut mestinya didengarkan atau jika tidak kita mempertauhkan demokrasi,” tegasnya.

Ganjar menyebut, jika seseorang melihat gerakan moral itu sebagai suatu hal biasa, maka dia sedang mati rasa.

“Dia tidak pernah belajar sejarah, dia sedang mengambil risiko besar dan ini pertaruhan sangat mahal setelah kita menginginkan bahwa reformasi berjalan. Presiden jangan lama-lama, maka dibatasi dua periode,” ujarnya.

Setelah reformasi, Indonesia menggelar pemilu langsung, otonomi daerah diberlakukan, KKN disikat, dan siapapun bisa menjadi pemimpin asal dipercaya rakyat.

“Kalau intervensinya masif dan dikontrol orang tidak mau, suasana ini sedang menuju otoritarian,” pungkas Ganjar.

No Comments

    Leave a Reply