Jakarta, 4 Juli 2019 – Melihat masih tingginya peran energi fosil bagi ketahanan energi di masa mendatang, upaya meningkatkan eksplorasi minyak dan gas bumi menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Pemerintah perlu meningkatkan iklim investasi yang baik sehingga dapat mengundang investor migas global masuk dengan tetap menghormati kesucian kontrak (contract sanctity) yang telah disepakati sebelumnya.
Berdasarkan Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN) 2015 – 2050, kebutuhan minyak mentah nasional tercatat terus meningkat. Pada 2025, diproyeksi kebutuhan minyak mencapai sebesar 2,196 juta BOPD dan melesat menjadi 4,619 juta BOPD pada 2050. Dengan pertumbuhan konsumsi energi seperti itu, tidak dapat dipungkiri bahwa peningkatan pasokan energi fosil tetap menjadi isu sentral.
Dalam RUEN juga dijelaskan bahwa 60% – 70% bauran energi nasional masih akan didominasi oleh energi fosil, meskipun kontribusi energi baru terbarukan (EBT) pada tahun 2025 ditargetkan menjadi lebih dari 23%, dan naik lagi menjadi lebih dari 31% pada tahun 2050. Penggunaan energi fosil dan terbarukan saling melengkapi dan tidak dapat mengandalkan satu sumber saja.
Namun, kondisi investasi hulu migas masih belum menunjukan pencerahan yang diharapkan. Dalam sepuluh tahun terakhir, berdasarkan data Laporan Kinerja Ditjen Migas 2018, puncak investasi hulu migas terjadi di 2013 dan 2014 yang mencapai USD 20,384 miliar dan USD 20,380 miliar. Sementara tahun lalu, investasi hulu migas tercatat merosot jauh menjadi USD 11,995 miliar.
Masih dalam kurun waktu yang sama, rata-rata pencapaian realisasi adalah 76% dari prognosa work plan and budget (WP&B) awal tahun. Jika dilihat pada 2010 – 2014, terjadi kenaikan harga minyak dunia kemudian dilanjutkan sepanjang 2015 terjadi penurunan signifikan harga minyak mentah sampai akhirnya menyentuh level terendah sebesar USD 27 per barrel pada Januari 2018.
Faktor internal dan eksternal punya peranan untuk mendorong ataupun menghambat datangnya arus modal masuk ke Tanah Air. Dari faktor eksternal, salah satunya kita melihat dinamika harga minyak dunia yang mempengaruhi investor migas global untuk selektif memilih proyek migas di berbagai negara berdasarkan tingkat keekonomian proyek yang ada.
Sementara dari sisi internal, Pengamat Migas Pri Agung Rakhmanto dari Reforminer Institute menilai kata kunci yang perlu menjadi perhatian untuk menghadirkan investasi hulu migas adalah kualitas regulasi berdaya saing global.
“Mungkin kita telah banyak melakukan deregulasi, tapi mungkin juga belum kompetitif. Nah, bagaimana dapat menarik eksplorasi, salah satunya fleksibilitas lebih ditingkatkan. Dampak eksplorasi yang paling konkret adalah ketahanan energi itu sendiri,” ungkapnya.
Dia menyarankan, Pemerintah sebaiknya lebih membuka diri kepada investor agar mereka berminat melakukan eksplorasi. Salah satu caranya, bisa saja dengan memberikan opsi skema kontrak yang ada.
“Harusnya kita membuka ruang, tidak terpaku pada pola yang lama. Semisal production sharing contract/PSC konvensional diterapkan, antara eksplorasi dan eksploitasi bisa menjadi kesatuan ataupun dipisah. Esensinya kita harus berani keluar dari pola yang sudah dijalankan saja,” kata Pri Agung.
Pemerintah juga diharapkan tidak banyak menghasilkan kebijakan yang justru berpotensi mengganggu kesepakatan kontrak yang disepakati sebelumnya. Selain itu, dalam menerbitkan kebijakan, Pemerintah perlu memperhatikan apakah hal tersebut akan menarik bagi investor atau justru sebaliknya.
Dalam Laporan Kinerja Ditjen Migas 2018 memang disebutkan bahwa, faktor internal yang mempengaruhi realisasi penandatanganan wilayah kerja migas adalah faktor terms and conditions yang dinilai kurang menarik.