Bahaya Bayang Kartel Politik Pikada 2024 (Bagian – 2)

August 19, 2024

BRIEF.ID – Pancasila, sebagai dasar negara, seharusnya menjadi pedoman dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam proses demokrasi. Megawati Soekarnoputri mengingatkan bahwa Pancasila lahir dari usaha pembebasan rakyat dari imperialisme, kolonialisme, dan kapitalisme.

Nilai-nilai Pancasila menuntut adanya keadilan sosial dan kedaulatan rakyat, yang hanya bisa terwujud jika demokrasi berjalan dengan jujur dan adil. Namun, jika proses demokrasi terus didikte oleh kartel politik, maka cita-cita Pancasila akan semakin sulit terwujud.

Demokrasi yang berkualitas adalah demokrasi yang benar-benar mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila dalam setiap aspeknya. Demokrasi Pancasila tidak membenarkan tindakan rekayasa politik yang menghalangi rakyat untuk memilih pemimpin yang sejati. Fenomena kotak kosong dan kartel politik merupakan ancaman serius bagi demokrasi Pancasila.

Dalam sistem demokrasi Pancasila, tidak dibenarkan adanya calon tunggal yang sebenarnya mengkhianati amanat dari nilai-nilai Pancasila. Elite politik seharusnya memiliki etika dan kepantasan dalam berpolitik, dengan menempatkan kepentingan rakyat sebagai hukum tertinggi. Jika politik hanya menjadi alat untuk merebut kekuasaan, maka partai-partai politik akan menjadi benalu bagi negara ini.

Menjaga demokrasi Pancasila tetap hidup dan berfungsi dengan baik bukanlah tugas yang mudah. Demokrasi Pancasila adalah sistem yang kompleks, yang mengharuskan adanya keseimbangan antara kepentingan rakyat dan kepentingan negara.

Demokrasi Pancasila, rakyat memiliki hak dan kewajiban untuk berpartisipasi dalam proses politik, namun partai politik juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa proses tersebut berjalan dengan adil dan transparan. Sayangnya, dalam realitas politik Indonesia saat ini, keseimbangan ini seringkali terganggu oleh dominasi kartel politik.

Kartel politik ini menggunakan kekuasaan dan pengaruhnya untuk memanipulasi proses demokrasi, sehingga rakyat kehilangan hak mereka untuk memilih pemimpin yang benar-benar mereka inginkan.

Tantangan terbesar dalam menjaga demokrasi Pancasila adalah bagaimana mengatasi dominasi kartel politik ini. Untuk itu, diperlukan langkah-langkah konkret yang dapat memastikan bahwa proses demokrasi berjalan dengan adil dan transparan.

Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan memperkuat peran lembaga-lembaga negara yang independen, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), untuk memastikan bahwa pemilu berjalan dengan jujur, adil, dan bebas dari intervensi pihak-pihak yang berkepentingan. KPU dan Bawaslu harus diberdayakan dengan kewenangan yang cukup untuk menindak tegas setiap bentuk pelanggaran yang terjadi dalam proses pemilu.

Kemandirian lembaga-lembaga ini sangat krusial agar mereka dapat menjalankan tugasnya tanpa tekanan atau pengaruh dari kekuatan politik tertentu. Selain itu, pendidikan politik bagi masyarakat juga menjadi aspek penting dalam menjaga kualitas demokrasi.

Masyarakat harus dibekali dengan pengetahuan yang cukup tentang proses demokrasi, hak-hak mereka sebagai pemilih, dan cara-cara untuk mengidentifikasi calon pemimpin yang layak. Dengan demikian, rakyat tidak akan mudah terpengaruh oleh kampanye-kampanye yang menyesatkan atau citra palsu yang dibangun oleh kekuatan media.

Pemimpin sejati adalah mereka yang memiliki integritas, jujur, dan berkomitmen untuk melayani kepentingan rakyat, bukan kepentingan kelompok atau pribadi. Integritas ini harus menjadi syarat utama bagi setiap calon pemimpin yang ingin maju dalam kontestasi politik.

Tanpa integritas, pemimpin hanya akan menjadi boneka yang dikendalikan oleh kekuatan yang lebih besar, dan pada akhirnya, rakyat yang akan dirugikan. Menjelang Pilkada 2024, bangsa Indonesia dihadapkan pada tantangan besar dalam menjaga demokrasi tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Demokrasi Pancasila seharusnya memberi ruang bagi rakyat untuk memilih pemimpin sejati, namun realitas yang terjadi justru menunjukkan dominasi kartel politik yang semakin mengakar dan mengancam kedaulatan rakyat.

Pernyataan Megawati Soekarnoputri dan Puan Maharani harus dilihat bukan hanya sebagai sebuah pengingat, tetapi sebagai refleksi dari problematika dalam demokrasi Indonesia yang terus bergulat dengan dinamika politik kartel dan elitisasi kekuasaan.

Dalam konteks demokrasi yang sehat, kepemimpinan sejati tidak dapat didasarkan pada dinasti politik atau sekadar simbolisme nama besar. Harus ada pertanggungjawaban atas rekam jejak, kinerja nyata, dan keberhasilan dalam mendorong reformasi yang benar-benar berdampak bagi rakyat.

Di tengah kontestasi politik yang semakin dikendalikan oleh kelompok-kelompok elite dan partai politik yang sering kali lebih mengutamakan kepentingan oligarki dibandingkan rakyat, kualitas demokrasi kita berada di ujung tanduk.

Demokrasi Pancasila seharusnya memastikan bahwa setiap individu memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi secara rasional dan tanpa tekanan. Namun, realitasnya, rakyat sering kali terjebak dalam permainan politik yang dikendalikan oleh segelintir elite yang memiliki kekuatan finansial dan jaringan politik yang kuat.

Maka dari itu, demokrasi Indonesia tidak bisa lepas dari permasalahan mendasar ini. Ketika kekuatan politik tertentu terus mendominasi, manipulasi terhadap aspirasi rakyat menjadi tidak terhindarkan. Demokrasi yang sejati mensyaratkan adanya mekanisme kontrol dan keseimbangan kekuasaan yang transparan, serta ruang partisipasi yang luas bagi masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam menentukan arah kebijakan negara.

Upaya menjaga integritas demokrasi tidak hanya tugas pemerintah atau partai politik, tetapi juga menjadi tanggung jawab masyarakat sipil, media, dan lembaga independen lainnya. Hanya dengan kolaborasi yang kuat antara semua komponen ini, demokrasi Indonesia bisa diangkat dari cengkraman politik kartel menuju sistem yang benar-benar berkeadilan, sebagaimana diamanatkan oleh nilai-nilai Pancasila.

Oleh sebab itu, integritas, transparansi, dan keadilan bukanlah sekadar jargon politik, melainkan elemen esensial yang harus diwujudkan dalam setiap proses politik. Hanya dengan demikian, kita bisa melahirkan pemimpin sejati yang tidak hanya mengandalkan nama besar atau popularitas semu, melainkan yang mampu memimpin bangsa ini ke arah masa depan yang lebih cerah, beradab, dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Penulis: Dr Benny Susetyo, Pakar Komunikasi Politik

No Comments

    Leave a Reply