BRIEF.ID – Venezuela bakal menjadi negara pertama yang kehilangan semua gletser di pegunungan Humboldt atau La Corona akibat perubahan iklim.
Hasil penelitian ilmuan International Cryosphere Climate Initiative (ICCI) mengungkapkan satu-satunya gletser yang tersisa di negara Amerika Selatan, yakni di Humboldt atau La Corona telah mencair dan terlalu kecil untuk diklasifikasikan sebagai gletser.
Gletser adalah endapan es besar dan tebal yang terbentuk di atas permukaan tanah, yang merupakan akibat akumulasi endapan salju atau es yang mengeras dan membatu selama ratusan bahkan ribuan tahun.
Saat ini, es abadi menutupi sekitar 10% daratan yang ada di bumi.
Dengan meningkatnya suhu rata-rata global (pemanasan global) akibat perubahan iklim, Venezuela telah kehilangan setidaknya enam gletser lainnya dalam satu abad terakhir.
“Tidak banyak lapisan es di gletser Venezuela sejak tahun 2000-an. Sekarang sudah tidak ada tambahan lagi bahkan sudah mencair dan menjadi ladang es,” kata Dr Caroline Clason, ahli glasiologi di Universitas Durham, kepada Newsround.
Pada bulan Maret, para peneliti di Universitas Los Andes di Kolombia mengatakan kepada AFP bahwa gletser telah menyusut dari 450 hektar menjadi hanya dua hektar.
Meskipun tidak ada standar global mengenai ukuran minimum suatu kumpulan es yang harus memenuhi syarat sebagai gletser, Survei Geologi AS mengatakan pedoman yang diterima secara umum adalah sekitar 10 hektar.
Sebuah penelitian, yang diterbitkan pada tahun 2020, menunjukkan bahwa gletser tersebut menyusut hingga kurang dari angka ini antara tahun 2015 dan 2016, meskipun gletser tersebut masih dianggap sebagai gletser terakhir di Venezuela oleh NASA pada tahun 2018.
Profesor Mark Maslin, seorang profesor ilmu sistem bumi di University College London, mengatakan lapangan es di Humboldt luasnya kira-kira setara dengan luas dua lapangan sepak bola, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai gletser.
“Gletser adalah es yang memenuhi lembah. Itulah definisinya, dan oleh karena itu menurut saya Venezuela tidak memiliki gletser apa pun,” kata Mark Maslin, seperti dikutip BBC.
Pada Desember 2024, pemerintah Venezuela mengumumkan proyek untuk menutupi sisa es dengan selimut termal yang diharapkan dapat membendung atau membalikkan proses pencairan es.
Namun langkah tersebut menuai kritik dari para ilmuwan iklim lokal, yang memperingatkan bahwa penutup tersebut dapat mencemari habitat sekitarnya dengan partikel plastik.
Selanjutnya Indonesia
Maximiliano Herrera, seorang peneliti cuaca ekstrem, menulis di X/Twitter bahwa negara berikutnya yang kemungkinan besar akan kehilangan gletser adalah Indonesia, Meksiko, dan Slovenia.
Prof Maslin mengatakan hilangnya gletser dari negara-negara tersebut masuk akal karena letaknya yang relatif dekat dengan garis khatulistiwa dan dataran rendah. Hal ini membuat membuat lapisan es di negara tersebut lebih rentan terhadap pemanasan global.
Penulis beberapa buku tentang perubahan iklim mengatakan gletser-gletser kecil ini, seperti yang baru-baru ini hilang di Venezuela, tidak mengandung cukup es untuk menaikkan permukaan air laut secara signifikan ketika mencair.
Meski demikian di beberapa wilayah, gletser memainkan peran penting dalam menyediakan air bersih bagi masyarakat, terutama selama periode panas dan kering.
Dr Kirkham dan Dr Jackson menyampaikan proyeksi terbaru menunjukkan bahwa antara 20% dan 80% gletser secara global akan hilang pada tahun 2100, tergantung pada jalur emisi yang diikuti.
“Sebagian dari kerugian ini sudah diketahui, di mana penurunan emisi CO2 secara cepat dapat menyelamatkan endapan glasial lainnya, yang akan memberikan manfaat besar bagi mata pencaharian, serta energi, air, dan ketahanan pangan,” ungkap Kirkham dan Jackson.