Stagflasi Mengintip, Volatile Pasar Saham Jadi Risiko Sekaligus Cuan

BRIEF.ID – Perang dagang yang dikobarkan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, melalui pengumuman kebijakan tarif resiprokal (timbal balik) pada 2 April 2025, menimbulkan goncangan di Pasar Keuangan.

Bursa saham di berbagai negara terpuruk, terutama di emerging market, karena investor menarik modal untuk mengamankan portofolio investasi ke emas.

Fenomena tersebut juga melanda Bursa Efek Indonesia (BEI), ditandai dengan terjungkalnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dari level psikologis 7.000.

BEI bahkan sampai melakukan pembekuan sementara perdagangan akibat penurunan IHSG yang melebihi batas 5%. Pada 8 April 2025, IHSG terpuruk pada level terendah di 5.882.

Hal itu, menimbulkan kekhawatiran, sehingga sejumlah lembaga investasi merevisi target pertumbuhan ekonomi global, bahkan menurunkan rasio keuntungan dari investasi saham.

Volatile pada pasar keuangan sempat mereda seiring keputusan Presiden AS, Donald Trump, untuk menunda pemberlakukan kebijakan ratif resiprokal selama 90 hari, kecuali untuk Tiongkok yang justru dinaikan hingga 145%.

Gejolak pasar keuangan kembali terjadi, ketika Tiongkok merespons kebijakan tarif resiprokal AS dengan ancaman kenaikan tarif impor dengan total mencapai 125%.

Menjelang akhir April 2025, goncangan pada pasar keuangan mulai terkendali, seiring negosiasi perdagangan yang dilakukan berbagai negara dengan AS, tak terkecuali Tiongkok.

Memasuki Mei 2025, sinyal perundingan perdagangan antara AS-Tiongkok semakin menguat, sehingga memunculkan sentimen positif bagi pasar keuangan global.

Perundingan AS-Tiongkok kemudian terjadi di Swiss, selama 2 hari, pada 10-11 Mei 2025, dan diakhiri dengan Pernyataan Bersama pada Senin (12/5/2025). AS memutuskaan menurunkan tarif impor barang Tiongkok hingga 30%, sebaliknya Tiongkok menurunkan tarif impor barang AS menjadi 10%.

Hal itu, membuat pasar keuangan global kembali bergairah, teerlihat dari lonjakan harga saham di Bursa Wall Street, Bursa Regional Asia, bahkan di BEI.

Pada perdagangan hari ini, Kamis (15/5/2025), IHSG kembali menyentuh level psikologis 7.000. Investor yang semula menjauh dari saham-saham sektor perbankan dan pertambangan, kembali mengoleksi saham-saham potensial di kedua sektor tersebut.

Fenomena ini di luar kebiasaan, karena pasar saham umumnya agak lelet dari Mei sampai Oktober. Nyatanya, pasar saham terus menguat, meski ketidakpastian masih tinggi.

Perang dagang yang telah dikobarkan Presiden Trump terlanjur mempengaruhi rantai pasok global karena tarif naik. Hal itu memicu harga barang melonjak, dan pasokan barang berkurang bahkan langka, sehingga memicu kenaikan inflasi.

Pengamat menilai, meski AS-Tiongkok mencapai kesepakatan perdagangan sementara, tarif global tetap tinggi sejak great depression, sehingga inflasi bakal melambung dan resesi mengintip.

Apalagi kepastian tentang kesepakatan perdagangan masih belum jelas, mengingat AS dan Tiongkok pernah menemui jalan buntu saat negosiasi perdagangan di periode pertama pemerintahan Presiden Trump.

Hal ini memunculkan spekulasi bahwa stagflasi sudah di depan mata, sebab Bank Sentral AS atau Federal Reserve (The Fed) juga belum menunjukkan tanda-tanda akan memangkas suku bunga acuan atau Fed Fund Rate (FFR).

Secara historis, The Fed selalu menaikan suku bunga di atas inflasi untuk membuat harga stabil. Pada 1970-an, kebijakan The Fed gagal, karena inflasi melambung, sehingga suku bunga harus digenjot sampai 20%.

Sejak krisis 2008, The Fed menetak rekor kebijakan suku bunga “real” negatif terlama dalam sejarah. Inflasi naik pelan, namun meledak karena stimulus COVID-19.

Pada 2022, The Fed mulai melonggarkan kebijakan moneter dengan menaikin suku bunga, tapi tetap sejajar inflasi. Sekarang, inflasi diprediksi bahkan melonjak gila-gilaan gara-gara kebijakan tarif, sehingga The Fed seperti berada di persimpangan jalan.

Di satu sisi, The Fed bisa menaikkan FFR untuk mengerem inflasi, naun resesi masih membayangi. Jika The Fed memangkas suku bunga gara-gara tekanan politik, ada kemungkinan inflasi AS akan bergolak seperti era 1970-an.

Itu sebabnya, pelaku pasar terus mencermati kebijakan The Fed terkait suku bunga acuan. Sebagian besar memprediksi stagflasi akan terjadi, karena The Fed enggak bakal menaikan suku bunga cukup tinggi.

Dengan kondisi tersebut, pasar saham masih dibayangi volatile yang lebar, meskipun harga saham terus melonjak sejak tercapainya kesepakatan perdagangan sementara AS-Tiongkok.

Situasi pasar saham yang volatile dinilai bukan hanya menjadi risiko, tetapi juga berpeluang menghasilkan cuan. Jutru dalam kondisi pasar saham yang volatile, investor cerdas dapat menuai untung.

Di kalangan pelaku pasar, ada istilah “Jual di Mei” untuk melindungi portofolio investasi karena pasar saham cenderung lelet mulai Mei hingga Oktober tahun berjalan.

Lalu apakah investor perlu menerapkan “Jual di Mei”? Semuanya berbalik pada keputusan yang didsarkan pada analisis pasar, baik secara funddamental, hitoris, maupun teknikal. Yang pasti, mau jual atau enggak, volatile pasar saham adalah risiko sekaligus cuan. (jea)

Share post:

Subscribe

spot_imgspot_img

Popular

More like this
Related

BSI Optimalkan Fasilitas Penukaran Mata Uang Riyal  

BRIEF.ID - PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) terus...

Prabowo Apresiasi Keputusan PM Australia Anthony Albanese Kunjungi Indonesia

BRIEF.ID – Presiden Prabowo Subianto mengapresiasi keputusan Perdana Menteri...

IHSG Kembali Tembus Level 7.000, Saham Bank BUMN Diburu Investor

BRIEF.ID - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa...

Rupiah Terus Menguat Ikuti Kenaikan IHSG dan Yield SUN

BRIEF.ID - Nilai tukar (kurs) rupiah terus menguat terhadap...