Jakarta – Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) untuk segera naik kelas bisa dilakukan dengan tiga cara berbeda yakni pelatihan, pendampingan, dan melalui metode inkubasi. Ketiga cara ini harus diterapkan sesuai kebutuhan masing-masing pelaku UMKM.
Menurut Associate Certifed Coach dari International Coach Federation Hasnul Suhaimi, ketiga jenis pemberdayaan ini harus dilakukan simultan terutama bagi pelaku usaha yang belum mengenal teknologi digital. Alasannya, saat ini pemahaman digital menjadi hal penting yang harus dimiliki setiap pengusaha, tak terkecuali di sektor UMKM dan Ultra Mikro (UMi).
“Sebetulnya saat ini sudah banyak pemberdayaan yang dilakukan, dan secara umum UMKM sudah tersentuh. Tapi, cukup tidaknya (pemberdayaan yang berjalan) relatif. Karena kalau bicara digitalisasi sendiri, saat ini produk yang dibeli di marketplace memang banyak tapi mayoritas asalnya masih dari luar negeri, kecuali produk-produk tertentu seperti makanan atau busana muslim,” ujar Hasnul dalam siaran pers, Selasa (3/11).
Pemberdayaan UMKM bisa dilakukan melalui pelatihan terhadap pengusaha yang masih membutuhkan banyak peningkatan kapasitas. Metode ini contohnya efektif bagi pelaku UMKM yang belum mengenal teknologi digital.
Sementara itu, pendampingan dapat diberikan untuk pelaku UMKM yang pemahamannya akan dunia usaha sudah ada, namun membutuhkan bantuan dalam tataran praktis. Bantuan yang diperlukan contohnya cara untuk melakukan pemasaran efektif di dunia maya, memperbesar pasar, hingga pembenahan kualitas dan kuantitas barang supaya lebih menarik di mata calon pembeli.
Terakhir, metode inkubasi cocok diterapkan untuk UMKM yang hendak memperluas pasar melalui kerjasama dengan pengusaha atau industri besar. Model pemberdayaan seperti ini sudah dilakukan salah satunya oleh PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. melalui program BRIncubator.
“Kalau mau lebih dalam lagi mungkin hal-hal itu bisa dilakukan, supaya produk UMKM Indonesia bisa bersaing. Dukungan bisa dilakukan entah melalui kebijakan baru, pelatihan cara marketing, dan lain-lain,” ujarnya.
Hasnul yang pernah menjabat sebagai Presiden Direktur dan CEO XL Axiata ini menyebut, secara umum pemberdayaan UMKM agar lebih berkembang dan memahami teknologi digital sebenarnya sudah cukup berhasil. Apalagi, saat ini banyak lembaga pendidikan dan universitas yang turut melakukan pendampingan atau pelatihan terhadap UMKM.
Akan tetapi, menurutnya pemberdayaan UMKM masih berpotensi untuk lebih besar dari saat ini dengan melibatkan banyak pemangku kepentingan, BUMN, dan pihak swasta serta lembaga pendidikan. Selain itu, pemberdayaan yang sudah berjalan menurutnya harus tetap dikawal agar benar-benar diterapkan pelaku UMKM dalam menjalani bisnis sehari-hari.
“Kalau niatnya mau menaikkan kelas UMKM, bisa seharusnya pemberdayaan dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Sekarang banyak ya relawan atau siapa saja yang bisa dilibatkan untuk membantu. Mungkin kalau ada yang bisa koordinir bantuan ini, pemberdayaan bisa semakin masif dan terarah,” ujar Hasnul yang juga akademisi IPMI International Business School tersebut.
“Jadi memang berbagai macam cara untuk memberdayakan UMKM karena banyak jenis usahanya. Mungkin ada yang butuh model training, pendampingan, atau seperti inkubasi begitu,” tutur Hasnul melanjutkan.
Dukungan terhadap UMKM belakangan kerap dikemukakan para pejabat publik dan pemangku kepentingan. Terkini, Menteri BUMN Erick Thohir menyebut perusahaan-perusahaan negara berkomitmen mendukung UMKM dalam tiga hal yakni penyiapan infrastruktur, pendanaan, dan pasar.
Erick menyebut kerjasama BUMN dan UMKM adalah kunci agar kondisi pengusaha kecil di Indonesia bisa membaik dan naik kelas. Salah satu bentuk nyata dukungan pemerintah terhadap UMKM adalah, adanya dorongan bagi BUMN agar membeli produk UMKM untuk memenuhi rencana belanja senilai Rp14 miliar ke bawah. Pembelian barang-barang UMKM oleh BUMN bisa dilakukan secara daring melalui platform Pasar Digital (PaDi) yang baru diluncurkan pada Agustus lalu.
Selain itu, pemerintah tengah menyiapkan aturan yang mewajibkan seluruh kementerian dan lembaga agar mengalokasikan minimal 40 persen pagu anggarannya untuk belanja barang atau modal dari UMKM. Rencana ini telah diungkap Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki dua pekan lalu.
“Presiden sudah setuju bahwa 40 persen belanja K/L harus untuk UMKM. Pada Oktober tahun lalu dalam ratas saya juga meminta agar belanja K/L diprioritaskan ke UMKM,” ujar Teten.
Berdasarkan data yang disampaikan Teten beberapa saat lalu, hingga kini pemerintah telah mengalokasikan dana Rp321 triliun untuk membelanjakan produk-produk UMKM. Selain itu, pemerintah juga sudah menggelar pelatihan dan pendampingan agar jutaan pelaku UMKM bisa mengakses laman e-katalog LKPP.
Lembaga riset McKinsey & Company dalam hasil riset terbaru menyebut, sektor UMKM bisa menyumbang PDB hingga US$140 miliar apabila mampu memaksimalkan pemanfaatan teknologi dan mendapat pendampingan yang cukup dalam menjalani bisnisnya.
Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UMKM, saat ini 98,7 persen usaha di Indonesia masuk kategori mikro. Setelah itu, ada 1,2 persen usaha kategori kecil, 0,09 persen usaha menengah, dan 0,01 persen usaha besar.
Dari 64,19 juta pelaku UMKM, ada 64,13 juta pengusaha mikro dan kecil yang bergerak di sektor informal. UMKM dan UMi di Indonesia menyerap 97 persen total tenaga kerja atau 116.978.631 orang. Kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mencapai 60,90 persen.
No Comments