BRIEF.ID – Perang Iran-Israel terus berkecamuk. Israel dibantu sekutunya Amerika Serikat (AS) terus melancarkan gempuran ke Iran, dengan menyerang fasilitas nuklir Iran, yaitu Fordo, Natanz, dan Isfahan.
Keterlibatan AS dalam perang Iran-Israel melalui serangan udara terhadap fasilitas nuklir Iran, memicu eskalasi ketegangan di Timur Tengah, yang otomatis berdampak langsung pada aktivitas pasar keuangan global, terutama di Indonesia.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada awal pekan ini, Senin (23/6/2025) diperkirakan bakal mengalami tekanan cukup signifikan. Demikian juga nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS berpotensi mengalami hal yang sama. Situasi ini berpotensi terjadi karena kekhawatiran mendalam investor terhadap dampak ketidakpastian ekonomi dan meningkatnya intensitas ketegangan geopolitik di wilayah Timur Tengah.
Pelemahan IHSG juga diperkirakan akan diperparah dengan gelombang aksi jual investor (sell-off) yang kini mencari aset lindung nilai (safe haven) seperti dolar AS dan emas.
Nilai tukar rupiah dalam jangka pendek diperkirakan berpotensi menembus angka Rp 16.500 hingga Rp 16.600 per dolar AS. Pada penutupan perdagangan Jumat (20/6/2025) Rupiah sudah mendekati level Rp 16.400 yaitu di posisi Rp 16.395 per dolar AS.
Pasar Saham Terkoreksi
Di sisi lain, pasar saham kini menunjukkan respons defensif terhadap konflik Iran–Israel. Serangan AS, sekutu Israel ke fasilitas nuklir Iran, juga mengakibatkan saham S&P 500 dan Nasdaq terkoreksi dan ditutup melemah sekitar 0,2–0,5 % pada perdagangan akhir pekan.
Kekhawatiran mendalam yang diwarnai sentimen risiko ini memicu aksi jual global, termasuk pasar Asia yang sebagian besar turun. Apa yang terjadi di negara-negara lain, juga dialami IHSG yang pada penutupan perdagangan Jumat (20/6/2025) melemah 61,50 poin atau 0,88% ke posisi 6.907,14. Sementara itu, indeks kelompok 45 saham unggulan atau indeks LQ45 turun 9,88 poin atau 1,28% ke posisi 764,93.
Kenaikan harga minyak berkisar 7–11% untuk minyak mentah jenis Brent dan West Texas Intermediate (WTI) terjadi setelah serangan AS terhadap tiga fasilitas nuklir Iran. Harga Brent naik 3,2 % menjadi US$ 76,60 per barel, yang menambah tekanan biaya impor energi Indonesia.
Dinamika ini diperkirakan akan terus berlangsung seiring penutupan Selat Hormuz oleh Iran. Selat Hormuz adalah jalur lewatnya 20% minyak dunia atau sekitar 21 juta barel per hari. Seiring penutupan Selat Hormuz, Goldman Sachs memprediksi harga minyak dunia berpotensi menembus angka US$ 100 per barel.
Negara-negara yang mengandalkan impor minyak bakal pusing karena inflasi membengkak dan pertumbuhan ekonomi melambat. Bank sentral Inggris, Bank of England langsung mengambil langkah strategis dengan memangkas suku bunga ke 4,25%.
Para analis menyarankan investor menjalankan strategi yang bijak dengan cara hedging sebagian portofolio, memantau perkembangan konflik dan harga minyak, serta mempertahankan arah investasi utama, terutama bila siklus pasar masih mendukung.
Meski bakal diwarnai gelombang tekanan jual dan kekhawatiran meluasnya spektrum perang bakalan, IHSG akan support flow di kisaran level 6.761- 6.778, meski ini adalah skenario terburuk. Sedangkan mid flow di kisaran angka 6.828 – 6.806, dan moderate 6.878 – 6.861.
Investor direkomendasikan untuk melakukan buy on opportunity saham-saham ANTM, PSAB, BRMS, ADRO, PTBA, INCO, INDY, PGAS, MEDC, ENRG, DKFT, dan TOBA. (nov)