Ekonom Wijayanto Samirin Beri Empat Usulan Konkret untuk Menkeu Purbaya

BRIEF.ID – Sejumlah kalangan memberikan usulan atau rekomendasi bagi Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk menghadapi dinamika dan tantangan ekonomi saat ini. Tak terkecuali ekonom senior yang pernah menjabat Staf Ahli Wakil Presiden Jusuf Kalla di bidang ekonomi pada 2014-2019, Wijayanto Samirin.

Wijayanto bahkan memberikan empat usulan konkret bagi Purbaya. Pertama, dia berharap Purbaya hati-hati dalam mengeluarkan statement. “Karena yang namanya Menteri Keuangan itu, apa yang disampaikan itu dicatat oleh investor,” kata Wijayanto di acara Seminar Publik dengan tema ‘Reshuffle Menyembuhkan Ekonomi?’ yang diselenggarakan Universitas Paramadina secara daring, Rabu (10/9).

Usulan tersebut bukan tanpa alasan. Dihari pelantikannya sebagai menteri pada Senin (8/9), Purbaya sudah mengeluarkan pernyataan nyeleneh yang mengundang kontroversi.

“Yang terucap itu separuh kebijakan, tinggal diketik, ditanda tangan. Itu sudah menjadi kebijakan. Dan walaupun sifatnya joke, tetapi kan kita harus pahami. Seseorang mengungkapkan humor, kemudian ada wartawan yang mendengar. Kemudian ditulis di media online. Kan yang membaca itu tidak paham bahwa ini joke atau tidak. Karena dia tidak melihat situasi ketika kalimat itu diungkapkan. Dia tidak bisa mendengar intonasi ketika kalimat itu disampaikan. Jadi harus ekstra hati-hati. Kemudian jangan overpromise, jangan overconfidence, jangan oversimplify,” kata Wijayanto.

Jika demikian, kata Wijayanto, kredibilitas bisa rusak di mata market. Di sisi lain, Menteri Keuangan Purbaya menurutnya perlu mengoptimalkan tiga wakil menteri yang punya kredibilitas luar biasa. Para wakil menteri tersebut menurut Wijayanto adalah ekonom handal yang punya kredibilitas di pasar.

“Saya mengusulkan supaya tiga wakil menteri itu di-deploy, dimanfaatkan betul-betul. Sehingga menteri baru harus bermain sebagai team player, bukan bermain sendirian,” tuturnya.

Kemudian usulan kedua, menteri keuangan yang baru harus berani menerapkan disiplin fiskal dengan refocusing anggaran untuk APBN 2026. Bahkan melakukan APBNP 2026. Pasalnya, Wijayanto menilai saat ini alokasi APBN banyak yang tidak tepat.

Di mana asumsi-asumsi penerimaan terlalu agresif. Sedangkan asumsi-asumsi pengeluaran dinilai kurang proper. Misalnya, pemangkasan untuk transfer daerah sekitar 25%. Kebijakan ini bahkan perlu di highlight. Belum dipangkas saja, sejumlah pemerintah daerah sudah menaikkan pajak sesuka hati.

“Kalau dipangkas 25%, padahal dalam kondisi normal naik 10%, artinya ada delta 35%, apa yang akan terjadi? Padahal kita semua tahu penerimaan pemda itu sekitar 80% dari transfer pusat. Kemudian 85% rata-rata itu digunakan untuk belanja rutin. Jadi bisa dibayangkan, kalau dipangkas 25% untuk belanja rutin saja tidak akan memadai. Pasti pemda itu akan menaikkan pajak,” lanjut Wijayanto.

Usulan ketiga adalah memperbaiki manajemen utang. Menurutnya saat ini Indonesia kesulitan menerbitkan utang, namun di sisi lain SAL mencapai Rp600 triliun. Hal tersebut sebenarnya akumulasi utang berlebih yang uangnya terdistribusi kemana-mana.

“Dan itu bukan uang gratis. Itu membayar bunga 6,5%-6,8% karena intinya SAL itu adalah SPN yang diterbitkan secara berlebihan. Kemudian kita juga harus menjawab pertanyaan, rating negara kita itu sama dengan Filipina, hampir sama dengan Malaysia dan Thailand. Tapi kenapa suku bunga obligasi pemerintah kita jauh lebih tinggi setelah di-ajust dengan inflasi? Jadi ada apa ini? Apakah teknik strategi penerbitannya yang kurang canggih? Saya rasa ini perlu diperbaiki manajemen utangnya,” katanya.

Usulan yang keempat, yang menurutnya sangat penting adalah kementerian keuangan harus mendorong pemberantasan underground economy. Wijayanto mengutip studi dan riset EY Global, di mana underground economy Indonesia sudah di level 23,6% dari GDP. Yang meliputi barang masuk melalui proses ilegal atau penyelundupan, barang legal yang tidak membayar pajak, atau barang yang memang secara produk sudah ilegal seperti narkoba dan lain sebagainya.

Posisi Indonesia tersebut hanya lebih rendah dari India yang 25,6% terhadap GDP. Jika hal tersebut dikonversi menjadi ekonomi yang legal, bisa dibayangkan dengan tax ratio 10% saja potensi pajak yang bisa diterima sangat optimal.

“Belum lagi underground economy ini merusak industri kita. Jadi kalau underground economy eksis, maka produsen-produsen yang beroperasi secara legal itu akan mati. Karena yang underground memproduk sesuatu yang sama, di environment yang sama, kemudian mereka tidak membayar berbagai kewajiban,” tutupnya. (lsw)

Share post:

Subscribe

spot_imgspot_img

Popular

More like this
Related

Indef Beri Empat Rekomendasi untuk Ekonomi Nasional yang Berkeadilan Sosial

BRIEF.ID – Institute for Development of Economics & Finance...

Banjir Besar Landa Bali: Puluhan Titik Terendam, Aktivitas Warga, Pariwisata, dan Ekonomi Terganggu

BRIEF.ID – Hujan deras yang mengguyur Bali sejak Senin...

Ekonom Sekaligus Mantan Staf Wapres Sebut Sri Mulyani Sosok yang Disiplin Fiskal

BRIEF.ID – Sri Mulyani Indrawati pada Senin (8/9) lengser...

18 Negara Pastikan Tiket ke Piala Dunia 2026, dari Argentina hingga Jepang

BRIEF.ID – Gelaran Piala Dunia 2026 yang akan digelar...