BRIEF.ID – Center Economic and Law Studies (Celios) menyatakan Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) harus berhati-hati mengelola aset jumbo sebesar US$900 miliar atau sekitar Rp14.679 triliun.
Menurut Peneliti Ekonomi Celios, Jaya Darmawan, prinsip kehati-hatian dan transparansi harus diterapkan Danantara dalam pengelolaan aset jumbo tersebut, agar tidak sampai mengalami mismanajemen dan tersandung korupsi, kolusi, dan nepotisme.
“Dananya kan cukup besar lebih dari Rp 14.500 triliun. Pertama kali sejarah di Indonesia ada super holding yang begitu besar, jadi pengelolaannya harus hati-hati,” kata Jaya, dikutip di Jakarta, Selasa (25/2/2025).
Jika tidak hati-hati dalam pengelolaan, lanjutnya, bukan tak mungkin Danantara mengalami fraud atau gagal seperti 1 Malaysia Development Berhad (1MDB), sovereign wealth fund milik Pemerintah Malaysia.
Jaya mengungkapkan, manajemen Danantara harus belajar dari banyak contoh soverign wealth fund di luar negeri, yang mengalami miss management, dan tersandung KKN, hingga mengalami fraud dan terbelit utang.
Dia mencontohkan kasus Malaysia Development Berhad (1MDB)Â yang korupsinya mencapai US$ 34,5 miliar atau sekitar Rp 561,4 triliun kurs saat ini, lantaran mengalami miss management dan sarat korupsi.
Tak hanya itu, kasus serupa juga terjadi di beberapa negara Timur Tengah, seperti Uni Emirat Arab (UEA) dan Qatar, yang dikenal memiliki sovereign welth fund dengan modal yang kuat.
Dia menyampaikan, kesalahan utama miss management yang diterapkan beberapa sovereign welth fund di berbagai negara, adalah salah memantau pasar dan tergiur investasi yang menjanjikan keuntungan besar dalam waktu singkat.
“Bahkan negara-negara yang dikenal memiliki soverign wealth fund yang kuat dan besar dananya seperti Qatar Investment Autority dan UAE Mubadala juga mengalami miss management. Ini harus jadi catatan penting bagi Danantara,” ungkap Jaya.
Sebagai informasi, 1MDB merupakan dana investasi negara yang diluncurkan Perdana Menteri (PM) Malaysia, Najib Razak, pada 2009. Dana investasi tersebut diluncurkan tak lama setelah Najib dilantik sebagai PM Malayasia.
Dana tersebut diinvestasikan melalui pembangkit listrik dan aset energi lainnya di Malaysia dan Timur Tengah, serta real estate di Kuala Lumpur. Namun dalam perjalanannya, 1 MDB justru terjerembab dalam lubang utang US$ 11 miliar (Rp 163,5 triliun) pada tahun 2014.
Pengawasan Independen
Menurut Jaya, pengelolaan Danantara akan bermanfaat bagi masyarakat jika pengelolaannya transparan serta pengawasannya benar-benar independen.
Selain itu, investasi Danantara harus diarahkan pada potensi ekonomi berkelanjutan dan memiliki multiflier effect, seperti energi baru terbarukan (EBT), khususnya solar panel dan angin, karena dapat mendukung pertumbuhan industri manufaktur menjadi lebih kuat.
Selain itu, hasil dari investasi Danantara juga harus menghasilkan return investasi publik, sehingga harus kembali ke rakyat dalam bentuk peningkatan perlindungan sosial (perlinsos) dan pelayanan publik.
Jaya juga mengkritisi peluncuran Danantara yang dinilainya kurang tepat pada kondisi saat ini, di mana keuangan negara mengalami defisit, dan dunia usaha begitu juga rakyat mengalami tekanan ekonomi.
Dia mengungkapkan, keuangan negara yang sedang defisit dan kapasitas fiskal yang sempit, seharusnya membuat pemerintah berkonsentrasi pada program strategis yang bisa menggerakan pertumbuhan, daripada meluncurkan Danantara yang juga menyedot dana hasil efisiensi anggaran di berbagai kementerian/lembaga.
Selain itu, kondisi dunia usaha juga sedang tertekan, ditandai dengan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan efisiensi, termasuk mengurangi produksi dan menutup pabrik pada industri manufaktur.
Sementara rakyat Indonesia juga mengalami tekanan ekonomi, terlihat dari jumlah kelas menengah yang turun ke kelas bawah. Kondisi perekonomian yang dalam ketidakpastian membuat hampir 10 juta orang turun dari kelas menengah ke kelas bawah.
Belum lagi angka pengangguran yang terus bertambah, karena kurangnya daya serap lapangan kerja terhadap tenaga kerja baru, dan PHK terhadap karyawan tetap maupun honorer.
Faktor lain, yang juga menjadi tantangan berat Danantara adalah preseden buruk dari proyek dan investasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang salah pengelolaan, sarat korupsi, bahkan merugikan rakyat.
“Kemiskinan struktural akibat dari ketimpangan ekonomi, dan preseden buruk Investasi BUMN ini, membuat risiko dan tantangan Danantara semakin berat. Jadi menurut saya kurang tepat kalau diluncurkan sekarang” tutur Jaya.