BRIEF.ID – Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data pengangguran Indonesia terbaru, yang menunjukkan angka pengangguran didominasi anak muda usia 15-24 tahun.
Per Februari 2025, BPS mencatat jumlah total pengangguran di Indonesia tercatat sebesar 7,47 juta, Sekitar 52,64% atau sekitar 3,9 juta dari total penggangguran nasional adalah anak muda.
Selain itu, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) anak muda tercatat sebesar 16,16%, tiga kali lipat dari rata-rata nasional yang hanya 4,76%.
Jumlah pengangguran anak muda yang mencapai 52,64% dari total pengangguran nasional per Februari 2025, hampir identik dengan data satu dekade sebelumnya (Agustus 2010), di mana 51,96% pengangguran adalah anak muda.
Secara global, pengangguran anak muda memang cenderung lebih tinggi dibanding kelompok usia lainnya. Namun hal ini tak berarti angka pengangguran anak muda Indonesia dapat dinilai “wajar”.
Pasalnya, jika dibandingkan dengan negara-negara lain, tingkat pengangguran anak muda Indonesia tampak jauh lebih mengkhawatirkan.
Estimasi ILO menyebutkan pengangguran muda Indonesia mencapai 13,1% pada 2024, lebih tinggi dari India (12,8%) dan Malaysia (12,3%), serta jauh di atas Vietnam (6,8%), Filipina (6,6%), dan Thailand (4,3%).
CORE Indonesia menyebut tingkat pengangguran anak muda di negara-negara Asia Tenggara relatif stabil dalam dua dekade terakhir, sedangkan Indonesia justru semakin memprihatinkan.
Tingginya angka pengangguran anak muda di Indonesia bukan sekadar fenomena statistik global, tetapi mencerminkan masalah struktural dalam pasar tenaga kerja dan ekonomi sektoral nasional.
Akar Masalah
Akar masalah pengangguran anak muda bahkan dapat ditelusuri sebelum krisis moneter 1997–1998. Pada periode 1991–1996, saat ekonomi Indonesia tumbuh pesat (rata-rata 7,25%), pengangguran muda justru naik rata-rata 15,1%.
Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, Estimasi ILO menyebutkan pengangguran muda Indonesia mencapai13,1% pada 2024, lebih tinggi dari India (12,8%)dan Malaysia (12,3%), serta jauh di atas Vietnam (6,8%), Filipina(6,6%), dan Thailand(4,3%).
Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi saat itu tidak diiringi dengan penciptaan lapangan kerja yang inklusif bagi kaum muda. Pola tersebut terus berulang.
Selama 2000–2024, ekonomi Indonesia cenderung stagnan di kisaran 5% pertumbuhan tahunan. Sayangnya, performa ini tidak cukup kuat menyerap tenaga kerja muda dalam jumlah signifikan.
Alih-alih menjadi masa percepatan menuju negara maju, bonus demografi sejak 2015 justru diwarnai stagnasi pengangguran muda.
Bila tren ini tak berubah, Indonesia berisiko menghadapi paradoks demografi: kehabisan tenaga sebelum mencapai kemakmuran, getting old before getting rich.
Masalah struktural itu semakin nyata jika kita menilik dinamika dua dekade terakhir. Meski jumlah riil pengangguran muda menurun, kecepatannya melambat drastis pasca 2010.
Dari 2005 ke 2010, jumlah anak muda yang menganggur terpangkas hingga 42%.Namun sepanjang 2011–2024, penurunannya hanya 9%. Hal itu, berarti laju perbaikan pasca 2010 tinggal seperlima dari capaian sebelumnya.
Perlambatan ini beriringan dengan gejala lain yang tak kalah mencemaskan, urbanisasi pengangguran muda. Semakin banyak anak muda meninggalkan sektor pertanian, yang mereka nilai tak lagi menjanjikan, tapi gagal terserap sektor formal, baik di industri maupun jasa.
Sebagian besar justru terperangkap dalam pekerjaan informal berupah rendah di perkotaan, yang tidak menjamin mobilitas ekonomi jangka panjang.
Kategori NEET
Tekanan ini kian terlihat lewat tingginya angka anak muda yang masuk kategori NEET(not in employment, education, or training). Pada 2023, 21,4% anak muda Indonesia termasuk NEET, lebih tinggi dari rata-rata global (20,4%) dan hampir dua kali lipat dibanding negara-negara tetangga seperti Vietnam (10,8%), Thailand (12,5%), Filipina(12,8%), dan Malaysia (10,2%).
Tingginya angka NEET mencerminkan adanya kelompok anak muda yang tersisih dari sistem ekonomi dan pendidikan. Lebih dari sekadar fasetransisi, status NEET kerap menjadi awal dari scaring effect, yakni terhambatnya karirsecara permanen karena pernah terdepak dari sistem.
Mereka yang pernah NEET berisiko tinggi hanya bekerja di sektor informal, dengan peluang terbatas untuk naikkelas ekonomi. Masalah ini bukan hanya milik daerah tertinggal.
Di provinsi padat industri seperti Jawa Barat dan Banten, angka NEET bahkan melebihi rata-rata nasional. Pada 2023, NEET di kedua provinsi tersebut masing-masing mencapai 23,49% dan 23,79%.
Kondisi ini menunjukkan pembangunan industri belum mampu menyeimbangi laju pertumbuhan angkatankerja muda. Bahkan di daerah dengan PDB per kapita tinggi, peluang kerja layak bagianak muda tetap terbatas.
Di saat sektor pertanian melemah dan sektor industri beluminklusif, anak-anak muda dengan keterampilan terbatas kehabisan pilihan.
Sektor jasa formal pun cenderung menutup pintu bagi mereka yang tak memenuhi standarketerampilan pasar. Kombinasi ketidaksinkronan ini menimbulkan frustasi generasi muda.
Ketika pekerjaan layak terasa makin jauh dari jangkauan, sebagian dari mereka memilih migrasi tanpapersiapan atau bahkan terjebak ke dalam sektor berisiko tinggi, termasuk menjadi korban eksploitasi digital seperti admin judi online.
Fenomena ini tercermin dari suarasuara yang bergema di media sosial, dengan tagar seperti #KaburAjaDulu, sebuahsimbol kehilangan harapan dalam negeri yang semestinya memberi ruang tumbuh.
Ketika pekerjaan layak terasa makin jauh dari jangkauan, sebagian dari mereka memilih migrasi tanpa persiapan atau bahkan terjebak ke dalam sektor berisiko tinggi, termasuk menjadi korban eksploitasi digital seperti admin judi online. (jea)