BRIEF.ID – Dua negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, yaitu Indonesia dan Thailand dinilai akan cenderung menetapkan kebijakan moneter yang lebih longgar pada 2026. Sebabnya, ekonomi lokal maupun global diperkirakan masih menantang dengan menghadapi risiko akibat gejolak politik di dalam negeri, kehati-hatian investor di luar negeri, dan kebijakan tarif Donald Trump.
Dikutip dari Bloomberg, Kamis (18/12), bank sentral di kedua negara telah menetapkan suku bunga acuan pada Rabu (17/12). Di mana Thailand memangkasnya, sedangkan Indonesia mempertahankan suku bunga acuan sebelumnya. Hal itu pun dinilai mengisyaratkan alasan untuk waspada menjelang tahun baru.
Perbedaan utama antara keputusan tersebut adalah arah pergerakan mata uang kedua negara. Meskipun keduanya menghadapi tantangan, Indonesia ingin menarik lebih banyak arus masuk investasi untuk memperkuat rupiah. Sedangkan Thailand berharap nilai tukar baht melemah.
“Langkah-langkah bertahap harus diterapkan untuk mengelola pergerakan baht,” kata Gubernur Bank Sentral Thailand / Bank of Thailand (BOT), Vitai Ratanakorn, dalam pidatonya pada Kamis. Mata uang tersebut telah menguat lebih dari 8% tahun ini.
Menurut Vitai, suku bunga acuan di Thailand dapat dipangkas lebih lanjut, meskipun bank sentral perlu mempertahankan ruang kebijakan yang terbatas. BOT menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun depan menjadi 1,5%, dengan alasan lemahnya permintaan domestik dan tarif AS.
Terpisah, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan pihaknya akan terus memantau perkembangan ekonomi terkini untuk pemotongan suku bunga lebih lanjut, di tengah ketidakpastian global dan dorongan Presiden Prabowo Subianto untuk mempercepat pertumbuhan.
Suku bunga BI dipertahankan pada 4,75% pada Rabu sesuai perkiraan 22 dari 35 ekonom dalam survei Bloomberg. Sisanya memperkirakan penurunan suku bunga seperempat poin. Langkah BI tersebut merupakan fokus pada menjaga stabilitas mata uang karena investor asing mulai menarik diri.
“Permintaan kredit masih lemah, dan pelaku usaha masih wait and see di tengah biaya kredit yang masih tinggi,” kata Perry.
Bahkan pihaknya menyerukan kepada bank untuk menurunkan suku bunga, dan meningkatkan insentif untuk mendorong pinjaman dan mendukung pertumbuhan. BI menyatakan akan menilai prospek mata uang, inflasi, dan pertumbuhan dalam menentukan waktu pemotongan suku bunga pada 2026. (lsw)


