Putusan PHPU, Kesempatan Hakim Konstitusi Buktikan Independensi

April 15, 2024

BRIEF.ID – Putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) oleh Mahkamah Konstitusi (MK), pada 22 April 2024 akan menjadi kesempatan bagi hakim konstitusi untuk membuktikan independensi.

Prof riset di Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bhakti, meyakini hakim MK akan mengambil posisi independen dalam membuat putusan PHPU yang diajukan pasangan calon (Paslon) nomor urut 1, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar dan Paslon nomor urut 3, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD.

Menurut dia, hal itu bukan hanya terlihat dari komposisi hakim MK yang berbeda, juga sejumlah putusan yang dibuat terkait penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu), terutama untuk Pilkada pada November 2024.

Apalagi hakim MK telah menyampaikan akan mengambil posisi independen ketika menerima kedatangan 303 guru besar dari berbagai perguruan tinggi, yang meminta MK benar-benar menjaga konstitusi dan demokrasi yang telah dicederai saat penyelenggaraan Pemilu 2024.

“Jadi, dengan posisi MK yang independen, bukan mustahil mereka akan membuat satu putusan monumental terkait sengketa pemilu. Kalau itu terjadi, buat saya ini sangat luar biasa,” kata Ikrar, dalam acara “‘Speak Up” di YouTube Channel Abraham Samad, yang dipantau Senin (15/4/2024).

Dia mengungkapkan, ada beberapa kemungkinan yang dibuat MK dalam putusan PHPU menyangkut permohonan yang diajukan Paslon 1 dan Paslon 3 terkait kecurangan Pemilu 2024.

Pertama, pemerintah diminta melakukan Pemilu ulang, baik secara keseluruhan atau di tempat di mana kecurangan terbukti.

Kedua, melaksanakan Pemilu ulang tanpa menyertakan Paslon nomor urut 2 karena didiskualifikasi, atau diskualifikasi hanya diberlakukan untuk Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden nomor urut 2 karena pencalonannya cacat demi hukum.

“Mungkin ada yang menilai ini akan sulit ya, tapi siapa tahu dengan posisi MK yang independen tidak sulit juga untuk memutuskan cuma Gibran yang didiskualifikasi, karena kan mereka juga yang dulu mengeluarkan putusan yang meloloskan Gibran,” ujar Ikrar.

Pemilu Ulang
Dia mengungkapkan, jika MK memutuskan pemilu ulang, akan terjadi perubahan pilihan orang di daerah-daerah. Orientasi pemilih akan berubah karena melihat realita kondisi ekonomi saat ini, di mana bansos yang telah dibagikan pemerintah tidak mengatasi persoalan inti, yakni kenaikan harga bahan pokok.

Selain itu, partisipasi masyarakat kemungkinan tidak akan sebanyak pemungutan suara pada 14 Februari 2024, kecuali ada perbaikan sistem penyelenggaraan pemilu dari KPU, mengingat banyak pemilih yang dirugikan karena kehilangan hak pilih di Pemilu 2024.

Dia menjelaskan, partisipasi pemilih dalam Pemilu 2024 dilaporkan mencapai 81%, padahal data pemilih yang hadir di TPS saat penyelenggaraan Pemilu tidak pernah melebihi angka 70% sampai 75%.

Apalagi, dalam penyelenggaraan Pemilu kali ini, banyak pemilih yang tidak bisa memberikan suara karena tidak memperoleh surat suara yang dikirim melalui POS, atau ditolak oleh petugas PKPU saat datang ke TPS untuk mengikuti Pemilihan Presiden setelah pemilih sesuai DPT selesai memberikan hak suara.

“Jangan lupa bahwa setiap ada Pemilu ulang itu jarang terjadi suatu penambahan pemilih karena biar bagaimana pun orang biasanya agak malas untuk ikut Pemilu ulang. Jadi, kecenderungan partisipasi pemilih justru menurun,” ungkap Ikrar.

Dia menambahkan, penyelenggaraan Pemilu ulang juga akan menjadi koreksi bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Untuk itu, sangat penting bagi masyarakat untuk menilai perilaku partai politik dan penguasa, sehingga tidak mudah dimanipulasi oleh permainan politik dan tekanan kekuasaan saat Pemilu Ulang.

Dia menjelaskan, tidak sedikit analisis yang menyebut pemilih Indonesia ingatannya tidak panjang. Hal itu yang membuat pemilih bisa melupakan kesalahan dan kejahatan seorang caleg atau capres, yang kemudian terpilih atau menang di Pemilu.

Padahal, ingatan tentang perilaku parpol dan penguasa sangat penting, karena saat penyelenggaraan pemilu biasanya terjadi komplikasi politik, juga kamuflase yang dapat mengelabui pemilih.

Dia mengatakan, meskipun posisi MK sulit, namun diharapkan dapat membuat putusan yang menjawab kegelisahan masyarakat, juga para guru besar, dan civil society, terkait dengan penyelenggaraan Pemilu 2024 yang menabrak konstitusi, mencederai demokrasi, dan sarat dengan kecurangan juga intimidasi.

Hal itu, lanjut Ikrar, disebabkan kalangan akademisi, dan civil society sebenarnya tidak menginginkan negeri ini kembali mengalami carut-marut seperti pada Reformasi 1998 dan tragedi PKI pada 1965.

“Bagaimanapun yang namanya guru besar termasuk saya juga berpikiran sama, tetap memikirkan nasionalisme maksud saya persatuan dan kesatuan bangsa. Kita enggak mau negeri ini carut-marut kembali seperti yang terjadi pada pada 1998 atau pada tahun 1965,” ungkap Ikrar.

No Comments

    Leave a Reply