Saatnya PAN Tegas Dalam Tentukan Arah Politiknya

February 4, 2020

Partai Amanat Nasional (PAN) akan menggelar Kongres ke-5 partai tersebut di Kendari, Sulawesi Tenggara pada 10-12 Februari mendatang. Salah satu agenda penting dalam kongres tersebut adalah pemilihan ketua umum periode 2020-2025.

Ada 4 nama Caketum yang akan bersaing memperebutkan kursi nomor 1 di partai berlambang matahari tersebut. Mereka adalah Caketum petahana Zulkifli Hasan, mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Asman Abnur, Wakil Ketua Dewan Kehormatan Dradjad Wibowo dan Wakil Ketua Umum Mulfachri Harahap. Bila dilihat dari komposisi keempat caketum, siapapun yang terpilih tentu akan menjelaskan ke mana posisi PAN dalam 5 tahun ke depan.

Bila patokan disebut sebagai partai besar adalah kemenangan pemilu, berarti PAN tidak termasuk di dalamnya karena ada di 3 besar pun tidak pernah. Bila yang menjadi patokan adalah kader yang menjadi gubernur, lagi-lagi PAN tidak bisa masuk kriteria, karena Zumi Zola, yang pernah menjadi Gubernur Jambi, sudah dijebloskan ke hotel prodeo karena kasus korupsi. Kalau pun ada kepala daerah dari PAN yang memiliki nama di tingkat nasional itu hanya sebatas wali kota yaitu Wali Kota Bogor Aria Bima atau Wakil Wali Kota Palu Sigit Purnomo Syamsuddin Said atau Pasha.

Lalu apa dong yang membuat PAN menarik? Tidak lain dan tidak bukan adalah kehebohan, bila tidak mau disebut kegaduhan, yang sering dibuat oleh partai tersebut. Merunut ke belakang, kehebohan pertama PAN hadir saat Sutrisno Bachir menjadi Ketum periode 2005-2010. PAN saat itu disebut sebagai Partai Artis Nasional, karena banyaknya artis yang direkrut hanya sekedar untuk menaikkan popularitas dan suara partai.

Kehebohan selanjutkan adalah saat Zulkifli Hasan menjadi Ketum sejak 2015 lalu. Bersama Zulkifli, PAN seakan terombang-ambing di tengah lautan politik dan hanya mengikuti hembusan angin untuk menentukan kearah kebijakan partai. Di tahun 2017 saat pembahasan RUU Pemilu, PAN bahkan walk out dari sidang paripurna karena tidak setuju dengan pemerintah yang ingin presidential threshold 20 persen, sementara PAN ingin nol persen. Padahal saat itu, PAN merupakan salah satu partai pendukung pemerintahan Jokowi-JK. Tak lama setelahnya, PAN menyatakan keluar dari koalisi dan memilih menjadi oposisi. Implikasi lain dari keluarnya PAN dari koalisi adalah “dipaksa mundurnya” Asman Abnur dari kursi Menpan-RB pada 14 Agustus 2018. Saat itu, Asman menjadi satu-satunya kader PAN yang menjadi menteri di Kabinet Kerja. Sementara saat ini, bersama dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), mereka adalah partai yang tidak memiliki representasi partai di dalam kabinet Indonesia Maju.

Kembali ke soal kongres yang kurang dari seminggu lagi, PAN memiliki peluang untuk masuk ke dalam koalisi pemerintah atau memantapkan diri berada di oposisi atau mungkin tetap berada dalam kebimbangan mereka. Karena semua caketum memiliki pandangan politiknya masing-masing dalam 5 tahun ke depan dan masing-masing berlainan satu sama lainnya.

Zulkifli Hasan sebagai caketum petahanan tentu memiliki keuntungan yang sangat besar dalam kongres ini dan mengklaim sudah mengantongi 60 persen dukungan dari seluruh kader PAN. Jangan lupa juga, Zulkifli memiliki loyalis yang saat ini masih menduduki jabatan strategis dalam sturuktur kepartaian serta di DPR. Namun, Zulkifli tidak lagi mengantongi dukungan dari Amien Rais, yang selama ini dianggap sebagai sesepuh dan memiliki power dalam menentukan ketum. Padahal pada 2015 lalu, Zulkifli mendapat dukungan dari Amien untuk mengalahkan Hatta Rajasa di Kongres ke-4 PAN. Tapi bila Zulkifli menjadi ketum untuk periode kedua, maka besar kemungkinan PAN akan tetap menjadi partai oportunis yang tetap dalam kebimbangan dan keterombangambingan dalam menentukan arah politik.

Sementara Asman Abnur, kemungkinan besar akan membawa PAN untuk merapat ke dalam pemerintah. Hal ini tidak lepas dari kinerja Asman selama menjadi Menpan-RB, bahkan dirinya dianggap berhasil selama menjadi menteri sebelum akhirnya terpaksa mengundurkan diri karena partainya keluar dari koalisi pemerintah. Mantan Ketum PAN Hatta Rajasa sudah terang-terangan mengatakan mendukung Asman sebagai Ketum PAN hingga tahun 2025. Posisi Hatta sebagai besan mantan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan arah politik SBY yang mendukung pemerintah, membuat kemungkinan PAN akan mendapat jatah menteri di dalam pemerintahan.

Bila Mulfachri Harahap menjadi ketum selanjutnya, besar kemungkinan PAN akan memantapkan diri sebagai oposisi hingga tahun 2024 mendatang. Hal ini karena Mulfachri didukung penuh oleh Amien Rais untuk maju sebagai caketum PAN. Bahkan Amien langsung menyiapkan paket Mulfachri Harahap-Hanafi Rais sebagai ketum dan sekjen dalam kongres. Bila melihat track record Amien sebagai kingmaker di PAN, tidak kecil kemungkinan Mulfachri akan menjadi ketum PAN 2020-2025. Zulkifli sudah mengakui bagaimana pengaruh Amien mampu membuatnya mengalahkan Hatta di 2015. Apakah kali ini tuah Amien berhasil pada Mulfachri?

Untuk Dradjad Wibowo, sosok ini memiliki sejarah panjang dalam partai berlambang matahari ini. Pada 2010 lalu, dirinya yang saat itu bersaing dengan Hatta untuk kursi ketum PAN, mengundurkan diri di saat-saat terakhir dan membuat Hatta menang secara aklamasi. Alasannya mundur saat itu karena tidak ingin PAN terpecah. Bila bicara arah politik bila terpilih, Dradjad kemungkinan akan menjadikan PAN sebagai mitra pemerintah meski tidak akan ngoyo masuk ke dalam koalisi ataupun jatah menteri. Sampai saat ini, Dradjad masih terus bergerilya untuk mendapat dukungan kader akar rumput PAN dan belum ada mantan ketum yang menyatakan mendukungnya. Bila melihat daftar mantan Ketum PAN, hanya Sutrisno Bachir yang belum punya jagoan di kongres kali ini. Apakah Dradjad adalah jagoan Sutrisno?

Jadi kemana arah PAN dalam 5 tahun? Masuk koalisi? Mantap sebagai oposisi? Memantau dari jauh? Atau nyaman dalam kebimbangan?

No Comments

    Leave a Reply