BRIEF.ID – Sepakbola adalah cabang olahraga yang sangat populer di Indonesia. Cabang olahraga yang digemari anak-anak hingga orang tua, bagaikan nyala obor yang menggelorakan semangat bangsa Indonesia. Publik membayangkan masa depan sepakbola Indonesia yang gemilang, berprestasi, bebas mafia, dan disegani di pentas internasional.
Harapan itu terus membahana di relung-relung hati insan pencinta sepakbola di Tanah Air. Meski sempat terantuk, asa untuk mengantar sepakbola nasional menuju gerbang kesuksesan terus menyala-nyala. Gema itu terus membahana.
Memang, ketika terjadi peristiwa memilukan di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, asa itu pun sempat memudar. Sedih dan pilu. Ditambah lagi tragedi yang menewaskan lebih dari 100 orang penonton itu belum ada titik terangnya. Padahal, rakyat Indonesia sungguh berharap tragedi Kanjuruhan menjadi titik balik perbaikan sepakbola Indonesia.
Demikian juga pergelaran liga sepakbola nasional. Setelah sempat vakum selama dua bulan, liga sepakbola Indonesia akhirnya digulirkan lagi, pada awal Desember 2022. Kembalinya kejuaraan sepakbola Indonesia ini ditandai dengan lanjutan Liga 1 2022, pada awal Desember 2022 dan kehadiran penonton di laga Timnas Indonesia.
Sebelum liga sepakbola nasional berputar lagi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara khusus meminta PSSI mengevaluasi total, khususnya terkait standarisasi baru pengamanan laga sepakbola. Bahkan, FIFA diterjunkan.
Sistem Degrasi Dihapus
Namun apa yang terjadi, dari sisi kompetisi, Liga 1 2022-2023 yang memutar duit triliunan itu tak ubahnya ‘arisan’ karena keputusan dihapuskannya sistem degradasi. Keputusan yang membingungkan karena ‘nyawa’ sebuah kompetisi, ya jika di dalamnya terjadi persaingan untuk menjadi yang terbaik.
Diksi persaingan ini akan mudah dijawab, bukannya sepakbola antar kampung (tarkam) juga kompetitif? Kesebelasan yang bertarung bermain demi kemenangan? Ya benar. Sayangnya sepak bola tarkam tidak bertujuan menjadikan individu yang bertarung sebagai representasi Indonesia untuk berlaga di fora internasional.
Hanya dari kompetisi yang sehat, ketat dan diakui oleh federasi sepak bola dunia, FIFA akan lahir individu-individe paling unggul sehingga ketika bersaing ke pentas dunia, mereka menjadi representasi kekuatan sepakbola Indonesia.
Sayangnya dialektika representasi dari kompetisi dalam negeri sebagai perwakilan sepakbola pun sebetulnya sedikit memudar karena PSSI cenderung menyukai jalan instan dengan melakukan naturalisasi pemain.
Langkah naturalisasi bukan sesuatu yang salah ketika menyasar individu yang lebih unggul dibandingkan sumber daya dalam negeri. Contoh kasus Maroko, Senegal, dan Swiss adalah tiga negara dengan prestasi kelas Piala Dunia yang tak malu-malu melakukan jalur cepat naturalisasi.
Bagaimana Indonesia? Saya melihat naturalisasi pemain timnas di Indonesia hanya kepentingan bisnis semata. Kenapa? Ya secara sumber daya manusia (SDM) yang dinaturalisasi pun tak unggul-ungul amat, beda kasusnya dengan timnas basket kita yang dilakukan secara cermat.
Perbasi yang dipimpin Kho Poo Thai (Danny Kosasih) ketika menaturalisasi trio Dame Diagne, Serigne Modou Kane, dan Marques Bolden punya visi jelas dan terbukti berhasil merebut medali emas SEA Games dari raksasa Asia Tenggara, Filipina pada Sea Games 2021 di Vietnam.
Sayang mimpi Merah Putih tampil di FIBA World Cup 2023 justru kandas di Istora Gelora Bung Karno, Jakarta karena disingkirkan Tiongkok pada babak playoff perempatfinal FIBA Asia Cup 2022, Juli tahun lalu. Apakah memalukan? Tidak terlalu karena secara rangking dunia Tiongkok berada di posisi 27 dunia, sementara Indonesia di posisi 81.
Pemimpin Baru
Lho, ini ngomong basket atau sepak bola? Nah, kebetulan Ketua Umum baru PSSI, Erick Thohir pernah menjabat Ketum Perbasi VII periode 2004-2006. Pada masa kepemimpinannya, prestasi timnas basket kita adalah rutin menjadi runner-up di Asia Tenggara.
Eh tapi jangan sembarangan, Erick ini pernah lho punya pengalaman menangani tim luar negeri, DC United yang berkiprah di Major League Soccer (MLS) Amerika Serikat, Internazionale Milan di Seri A Italia dan Oxford United, tim kasta ketiga di Inggris.
Di dalam negeri pun tak main-main, ketika Erick membidani Persib Bandung, Maung Bandung berhasil menjadi Juara Liga Super Indonesia pada 2014 dan Piala Presiden 2015. Jadi, patutlah Erick yang kabarnya akan maju dalam kontestasi calon presiden (capres) – calon wakil presiden (cawapres, pada Pilpres 2024 terpilih sebagai Ketum PSSI, periode 2023-2027.
Publik berharap ketika Erick menggelar rapat Piala Dunia, pada 20 Mei – 11 Juni 2023 mendatang, wajah sepakbola Indonesia akan kembali bersolek. Paling tidak, titik balik sepakbola nasional makin mantap melangkah. Semoga terpilihnya Erick menjadi titik balik sepakbola Indonesia.
Apalagi sehari setelah terpilih sebagai Ketua Umum PSSI, Jumat (17/2/2023), Erick langsung berdiskusi dengan delegasi FIFA, Kenny Jean-Marie, Sarah Solemale, dan Lavin Vignesh sambil menikmati makan siang.
“Kita akan selalu berdampingan dengan FIFA dan pemerintah dalam setiap langkah ke depan untuk sepak bola bersih dan berprestasi,” kata Erick. Selamat bertugas, Pak Erick. Jayalah Indonesia Raya!
No Comments