Jenderal Militer Iran Qasem Soleimani tewas dalam serangan udara yang diluncurkan Amerika Serikat pada 3 Januari 2020. Banyak yang terperangah dengan keputusan Amerika Serikat tersebut. Tak sedikit yang mengecam tindakan tersebut, termasuk Rusia tentu saja.
Namun dalam hal ini Brief.id lebih meyakini aksi pembunuhan Qasem Soleimani yang dilakukan Amerika sekadar pesanan bagi Israel. Mengapa Israel? Jika jeli melihat rangkaian peristiwa sejak akhir tahun 2019, Israel sedang memburu para pemimpin Palestinian Islamic Jihad (PIJ) atau biasa disebut Jihad Islam, kelompok militan Sunni di Jalur Gaza. Dua pemimpin PIJ tewas hampir bersamaan.
Pada 12 November 2019, rumah pemimpin senior PIJ, Akram al-Ajouri di ibu Mezzah, Suriah dirudal yang mengakibatkan cucu perempuannya Batoul dan putranya Muath tewas. Sementara Bahaa Abu al-Ata, yang juga senior pemimpin Jihad Islam, terbunuh bersama istrinya dalam serangan udara di Gaza.
Setelah Bahaa Abu al-Ata, pada 14 November 2019, Rasmi Abu Malhous, komandan unit roket Jihad Islam disasar serangan udara di Deiral-Balah, Gaza. Serangan rudal tersebut ikut menewaskan delapan keluarga Abu Malhous.
Modus membunuh menggunakan rudal bukan sekali ini saja diterapkan Israel. Pada 22 Maret 2004, Sheikh Ahmed Yassin, pemimpin spiritual kelompok militan Syiah, Hamas Palestina tewas dirudal di atas kursi rodanya saat kembali dari masjid di kota Gaza. Tak hanya menewaskan Sheikh Ahmed Yassin, tujuh orang lain ikut tewas akibat serangan tersebut.
Sementara serangan pembunuhan bertempat di luar negeri, sudah berkali dilakukan Israel. Sebut saja operasion “Wrath of God’ atau Murka Tuhan pasca peristiwa Olimpiade Munich 1972 yang menewaskan 11 atlet Israel.
Operasi yang menyasar pemimpin organisasi militan Black September dan operator Palestine Liberation Organization (PLO) di bawah perintah langsung Perdana Menteri Golda Meir pada 1972, konon berjalan hingga 20 tahun, diteruskan pemimpin Israel yang lain.
Satu pemimpin Hamas Palestina terakhir yang jadi korban di negara lain adalah Mahmoud al-Mabhouh, pendiri Brigade Izz al-Din Qassam itu tewas di Dubai pada 20 Januari 2010. Jadi boleh dibilang, operasi buru dan bunuh adalah hal yang biasa dilakukan Israel.
Nah bukankah antara Israel dan Hamas sedang tenang pasca gencatan senjata? Siapa bilang! Pasca serangan menyasar pemimpin Jihad Islam, Israel pada 17 November menggelar serangan udara ke sejumlah titik di Gaza
Lalu mengapa Jenderal Militer Iran Qasem Soleimani yang disasar dalam serangan kali ini? Tak lepas dari perannya memainkan pengaruh lewat bantuan ke seluruh organisasi militan di Palestina secara terbuka sejak 2017.
Dikutip dari Radio Free Europe/Radio Liberty (RFE/RL), selaku Komandan yang mengawasi cabang operasi luar negeri Korps Pengawal Revolusi Islam (IRGC), Jenderal Qasem Soleimani telah menawarkan “dukungan penuh” Iran untuk militan Palestina dalam kampanye perlawanan mereka terhadap keputusan Presiden AS Donald Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Soleimani mengajukan tawaran kepada komandan Jihad Islam Palestina dan brigade Izz Al-Deen Qassam, sayap bersenjata kelompok militan Islam Hamas, yang mengendalikan Jalur Gaza, dalam percakapan telepon pada 11 Desember 2017.
Pemimpin Pasukan Quds IRGC menjadi pemimpin perjuangan Iran melawan kelompok ekstrimis Negara Islam di Irak utara dan Suriah. Pasukannya terus memberikan dukungan penting bagi Presiden Suriah Bashar al-Assad dalam perangnya melawan pemberontak Muslim Sunni.
Serba salah Rusia
Lalu bagaimana posisi Rusia pasca terbunuhnya Jenderal Qasem Soleimani? Sejauh ini Rusia mengecam tindakan Amerika. Suatu tindakan yang dalam pandangan Brief.id, sekadar pemanis bibir mengingat posisi Rusia dalam krisis Israel cukup sulit.
Hubungan Rusia dengan Iran cukup akrab, meski seperti dicatat oleh Dimitri Trenin, peneliti Carnegie Moscow Centre: “Ketika ditekan oleh Amerika Serikat, Rusia akan sering membuat konsesi dengan mengorbankan koneksi Iran mereka.” Namun, ini, telah berubah agak mengikuti pengenaan sanksi terhadap Rusia dan Rusia.
Kita tahu pada 2018, Departemen Keuangan Amerika memberlakukan sanksi pada Rusia termasuk terhadap beberapa operasi intelijen karena diduga ikut campur dalam pemilihan AS tahun 2016. Sanksi bertambah pada 2019, masing-masing pada Agustus dan Oktober.
Pada Agustus 2019, Departemen Keuangan Amerika mengumumkan sanksi baru terhadap Rusia. Sanksi ini terkait dengan serangan dengan racun syaraf terhadap Sergei Skripa. Sementara pada Oktober 2019, sanksi dijatuhkan terkait intervensi pemilu Amerika pada 2016.
Sebelumnya, sejak 2014, sejumlah negara Eropa bersama Amerika menerapkan sanksi terhadap Rusia sebagai tanggapan atas aneksasi wilayah Krimea oleh Rusia dan destabilisasi yang disengaja dari Ukraina. Kondisi yang belum membaik hingga saat ini.
Sementara tentang Iran, Rusia bersama China pada 16 Januari 2016 berhasil mendorong dicabutnya sanksi terkait nuklir ekonomi dan keuangan terhadap Iran terkait dengan program nuklirnya dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Namun pada November 2018, pemerintahan Trump sepenuhnya memberlakukan kembali sanksi terhadap Iran yang telah dicabut. Pemerintah Amerika Serikat menyatakannya sebagai sanksi terberat AS yang pernah dijatuhkan terhadap negara tersebut.
Pengembalian penerapan sanksi oleh Amerika terhadap Iran tidak didukung oleh penandatangan perjanjian seperti China, Perancis, Jerman, Inggris, dan tentu saja Rusia. Alhasil isu Iran tidak menyatukan Eropa dan Amerika seperti halnya kasus Irak-Kuwait.
Tidak bisa dilupakan, Rusia dan Iran memiliki beberapa proyek energi yang sedang berlangsung dan selesai. Unit tenaga nuklir pertama buatan Rusia dipasang pada 2011 di Bushehr. Pada 2014, Rusia menandatangani perjanjian dengan Iran untuk membangun delapan reaktor nuklir lagi di negara itu.
Menurut perjanjian yang ditandatangani pada Juli 2016, Rusia memberikan pinjaman untuk mendanai 85 persen dari biaya konstruksi pembangkit listrik termal 1.400 megawatt di daerah Sirik, Provinsi Hormozgan.
Ini belum termasuk industri hidrokarbon Iran dan infrastruktur energi yang dijalin kedua kedua negara setelah bertahun mandeg akibat adanya sanksi. Sayangnya, ancaman sanksi Trump membuat beberapa perusahaan minyak dan gas Rusia menghentikan proyek mereka di Iran dan menarik diri dari negara itu.
Satu lagi yang paling penting, semua orang tahu Rusia terpaksa menunda pengiriman sistem rudal canggih permukaan ke udara S-300 yang tertunda pengirimannya sejak 2010, dan dijadwalkan ulang dikirim pada tahun ini.
Pada sisi lain, hubungan Rusia dan Israel mulai akrab dimulai ketika Israel memaklumi intervensi Rusia ke Republik Chechnya pada 2009, dimana Moskow mengatakan pihaknya akan memerangi terorisme. Saking akrabnya, Rusia membeli pesawat tanpa awak Israel.
Pada September 2010, Menteri Pertahanan Rusia dan Israel menandatangani perjanjian kerja sama militer di Moskow. Keduanya makin akrab ditandai komunikasi yang intens antara Putin dan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu. Sepanjang 2018, sudah tiga kali keduanya bertemu. Jadi jika tahun ini ada satu jenderal Iran tewas, apa iya Rusia dengan mudah akan mengorbankan jalinan komunikasi yang telah mereka jalin dengan Israel. Hitung punya hitung, kok tidak menguntungkan sama sekali. (yap)
No Comments