BRIEF.ID – Rencana penerapan skema berbagi beban bunga utang atau burden sharing antara pemerintah dan Bank Indonesia (BI) untuk kebutuhan pembiayaan program Asta Cita Presiden Prabowo Subianto menjadi sorotan berbagai kalangan.
Burden sharing adalah skema pembagian beban bunga yang dilakukan dengan membagi rata biaya bunga atas penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) untuk mendanai program pemerintah.
Skema ini sebelumnya pernah diterapkan pada masa darurat keuangan pandemi Covid-19, di mana BI ikut menanggung beban pembiayaan negara melalui pembelian obligasi pemerintah dengan bunga lebih rendah dari pasar.
Hal ini, yang membuat banyak kalangan menyoroti rencana penerapan skema burden sharing untuk membiayai program Asta Cita, karena situasi negara tidak dalam kondisi darurat, dan membutuhkan intervensi BI.
Apalagi penerapan burden sharing dalam kondisi normal berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan investor terhadap independensi BI dari tekanan pemerintah, sehingga dapat memicu kenaikan inflasi.
Menyikapi sorotan tersebut, Kepala Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, menyampaikan skema burden sharing sejalan dengan peran BI sebagai pemegang kas Pemerintah.
Hal itu tertuang dalam Pasal 52 UU Bank Indonesia No. 23 Tahun 1999 sebagaimana terakhir diubah dengan UU No. 4 Tahun 2023 tentang P2SK juncto Pasal 22 serta selaras dengan Pasal 23 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
“Jadi pembagian beban bunga (burden sharing) dilakukan dalam bentuk pemberian tambahan bunga terhadap rekening Pemerintah yang ada di bank sentral,” kata Ramdan, dalam keterangan resmi, di Jakarta, Kamis (4/9/2025).
Selain itu, lanjutnya, besaran tambahan beban bunga oleh Bank Indonesia kepada Pemerintah tetap konsisten dengan program moneter untuk menjaga stabilitas perekonomian dan bersinergi untuk memberikan ruang fiskal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan meringankan beban rakyat,.
Ramdan menjelaskan, BI sepakat melakukan burden sharing dengan Pemerintah untuk mengurangi beban biaya terkait program ekonomi kerakyatan dalam Asta Cita.
Pembagian beban bunga (burden sharing) dilakukan dengan membagi rata biaya bunga atas penerbitan SBN untuk program pemerintah terkait perumahan rakyat dan Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) setelah dikurangi penerimaan atas penempatan dana pemerintah untuk kedua program tersebut di lembaga keuangan domestik.
Hal itu, merupakan sinergi kebijakan fiskal dan moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, melalui Program Asta Cita, terutama pada bidang ekonomi kerakyatan, termasuk program perumahan rakyat dan KDMP.
“Sinergi kebijakan fiskal dan moneter ini tetap mengacu pada prinsip-prinsip kebijakan fiskal dan moneter yang prudent serta tetap menjaga disiplin dan integritas pasar (market discipline and integrity),” ungkap Ramdan.
Pembelian SBN
Terkait dukungan BI melalui pembelian SBN di pasar sekunder juga merupakan bentuk dukungan BI terhadap program pemerintah, dan dilakukan sesuai dengan kaidah kebijakan moneter yang berhati-hati (prudent monetary policy),
“Pembelian SBN di pasar sekunder juga dilakukan secara terukur, transparan, dan konsisten dengan upaya menjaga stabilitas perekonomian sehingga terus menjaga kredibilitas kebijakan moneter,” tutur Ramdan.
Hingga akhir Agustus 2025, BI telah membeli SBN sebesar Rp200 triliun, termasuk pembelian di pasar sekunder dan program debt switching dengan Pemerintah sebesar Rp150 triliun.
Ramdan mengungkapkan, BI akan terus melakukan sinergi dengan Pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sejalan dengan program Asta Cita Pemerintah, dengan tetap menjaga stabilitas perekonomian.
Dalam kaitan ini, bauran kebijakan BI akan disinergikan dengan kebijakan fiskal, termasuk melalui pembelian SBN di pasar sekunder dan kebijakan insentif likuiditas makroprudensial (KLM) yang telah mencapai Rp384 triliun sampai dengan akhir Agustus 2025.
“Selain itu, kebijakan digitalisasi sistem pembayaran terus diakselerasi guna mendorong pertumbuhan ekonomi,” ujar Ramdan.
Dia menambahkan, secara keseluruhan kebijakan moneter diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan tetap menjaga stabilitas perekonomian.
“Arah kebijakan ini ditempuh mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi global yang belum kuat dan pertumbuhan ekonomi domestik yang masih di bawah kapasitasnya,” kata Ramdan. (jea)