BRIEF.ID – Masinis kereta umumnya dikenal sebagai profesi yang mengandalkan hard skill, sehingga jarang ada masinis yang punya kesempatan menjadi direksi, yang umumnya memiliki kemampuan soft skill.
Itu sebabnya, di PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI, sebagian besar karyawan yang diterima menjadi masinis, akan pensiun dengan posisi yang sama, yakni sebagai masinis.
Hal ini, juga berlaku bagi pramugari kereta, pengatur jalan kereta, dan posisi lainnya di KAI, karena para karyawan seolah-olah diposisikan memiliki spesialisasi, namun tak ada kelanjutan jenjang karier.
Kondisi tersebut, menjadi temuan sekaligus hasil evaluasi Direktur Sumber Daya Manusia (SDM) dan Umum PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI, Rosma Handayani.
Sejak ditunjuk Menteri BUMN, Erick Thohir, untuk menjadi Direktur SDM dan Umum KAI sejak Maret 2024, Rosma memilih terjun ke lapangan untuk menggali berbagai informasi langsung dari para karyawan di divisi, stasiun, hingga depo.
“Saya turun sendiri tanpa bawa tim, karena saya ingin dengar langsung dari bawah, saya mau tahu apa yang sebenarnya ada di lapangan. Kalau bawa tim, nanti tim saya yang menjelaskan atau malah menutupi apa yang sebenarnya terjadi di lapangan. Mumpung saya baru, karyawan belum terlalu kenal, jadi mungkin enggak ada rasa sungkan untuk lebih bisa cerita, makanya saya keliling sendiri ke lapangan,” kata Rosma.
Dari berkunjung ke lapangan, Rosma bisa mempelajari satu demi satu struktur organisasi dan bagian-bagian yang ada di KAI, mulai dari depo, Balai Yasa (tempat perawatan kereta), hingga Balai Pelatihan Teknik Perkeretaapian (BPTP).
Dia juga menyadari bahwa KAI ternyata memiliki organisasi yang besar dengan 6 anak perusahaan, belum lagi unit-unit layanan yang menjadi bagian bisnis KAI.
“Dari situ saya bikin evaluasi, dan saya bisa belajar dengan cepat, jadi tahu mana yang harus di improve,” ujar Rosma.
Dia mengungkapkan, dari rangkaian kunjungannya ke lapangan, ada momen yang sangat membekas, yakni ketika mengikuti masinis yang mengoperasikan kereta dan mengecek lintasan kereta.
Rosma ikut dalam ruangan masinis, yang harus atas seizin Direktur Operasional dan masinisnya karena ruangan masinis tidak boleh sembarangan dimasuki. Pasalnya, selain ruangannya tidak terlalu luas, ada banyak tombol mekanik untuk operasional kereta, sekaligus untuk menjamin keamanan perjalanan.
“Dari sini saya jadi tahu kompetensinya masinis, mereka harus ingat simbol-simbol sepanjang perjalanan, yang paling serem kalau lewat perlintasan kereta, karena ada banyak instruksi dan kode yang harus diperhatikan,” ungkap Rosma.
Pengalaman itu, rupanya mengusik Rosma yang kemudian memikirkan kesejahteraan dan jenjang karier masinis, karena sebagian besar dari para masinis yang diterima di KAI pensiun dengan posisi yang sama.
Rosma pun berpikir untuk menyusun atau membuat road map jenjang karier di KAI secara terstruktur, untuk menjamin kepastian pengembangan SDM dari internal perusahaan BUMN tersebut.
“Saya kepikiran enggak bisa terus begini, masa dari mulai kerja sampai pensiun jadi masinis terus, atau jadi pengatur jalannya kereta. Apa iya dari usia 19 tahun sampai 56 tahun saat pensiun mereka di posisi yang sama. Apa iya dalam 40 tahun mereka tetap jadi masinis, daya tahannya bisa menurun karena usia, sementara masinis itu butuh konsentrasi, enggak boleh capek, enggak boleh ngantuk, harus mendengar arahan dan kode,” tutur Rosma.
Terobosan
Rosma menjelaskan, pihaknya kini tengah membuat 3 terobosan untuk membuat SDM KAI naik kelas dan kompeten, hingga sejajar dengan BUMN yang dianggap bergengsi, seperti Bank BUMN.
Terobosan pertama adalah menyusun Road Map Jenjang Karier di KAI. Berangkat dari pengalamannya berkarier di Bank BUMN, yakni PT Bank Mandiri Tbk dan PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI), Rosma ingin ada jenjang karier yang jelas untuk semua karyawan yang memiliki kompetensi.
“Saya ingin ada struktur untuk jenjang karier SDM di KAI, karena selama ini ada yang bisa naik atau pindah ke jabatan lain, tapi tidak terstruktur,” kata Rosma.
Dengan jenjang karier yang terstruktur, terbuka kesempatan bagi setiap karyawan, misalnya seorang masinis untuk pindah ke posisi atau jabatan lain di internal KAI, mendapat pengalaman dan skill baru, bahkan tidak tertutup kemungkinan untuk menduduki posisi direksi.
“Saya bilang ke karyawan, masa iya kalian mau terus dipimpin sama direksi yang dari luar KAI, seperti saya kan bukan pejabat karier di KAI. Pasti kalau direksinya dari internal KAI, akan lebih paham, dan bisa buat strategi untuk kemajuan bisnis dan kesejahteraan karyawan,” ungkap Rosma.
Terobosan kedua adalah mengubah mindset atau pemikiran internal KAI terkait perekrutan karyawan. Rosma ingin SDM KAI harus lebih banyak bergelar sarjana daripada lulusan SMA atau sederajad.
Hal ini, bukan hanya untuk prestise, tetapi untuk membuat KAI tak hanya diisi oleh SDM yang mengandalkan hard skill, tetapi juga memiliki soft skill yang mampu berinovasi dan menyusun strategi untuk masa depan karier pribadi dan juga kemajuan perusahaan.
“Saat ini, sekitar 85% SDM KAI pendidikannya SMA. Saya tanya kok gak rekrut S1. Jawabannya, mana mau bu lulusan S1 jadi masinis, jadi kondektur, cuma untuk cek rel. Saya bilang, mind set kita yang harus diubah. Siapa tahu dengan terima S1 mereka punya inovasi, bisa bantu atasi apa yang jadi kendala teknis dengan kemampuan mereka, jadi tidak manual,” ujar Rosma.
Tak hanya itu, dengan terobosan ini, Rosma ingin mindset milenial dan gen Z terhadap KAI juga berubah, dengan menjadikan KAI sebagai tempat tujuan mereka bekerja dan berkarya.
Rosma mengungkapkan, banyak yang berpikir bekerja di KAI itu pekerjaan keras, jadi hanya cocok untuk lulusan SMA, dan gajinya kecil. Padahal banyak yang enggak tahu bahwa KAI itu standar gajinya tinggi.
“Kita gaji lulusan SMA itu lebih tinggi dari ODP di bank loh. Kalau saya sebut angkanya pasti kaget, makanya banyak lulusan SMA yang melamar ke KAI, dan ini tidak terlalu dipantau sama lulusan S1,” tutur Rosma.
Dia menuturkan, KAI sebenarnya punya program scolarship untuk S1 dan S2, namun Rosma sedang merapihkan persyaratannya. Pasalnya, Rosma tak ingin karyawan yang dibiayai untuk pendidikan S1 dan S2 hanya sekadar dapat ijazah, tetapi ilmu yang diperoleh menjadi benefit untuk pengembangan KAI ke depan.
“Karena pada akhirnya SDM KAI lah yang menjalankan seluruh pengelolaan KAI, jadi saya ingin mereka tak hanya punya hard skill, tapi bisa punya strategi dan pemikiran inovatif untuk pengembangan KAI ke depan,” kata Rosma.
Sedangkan terobosan ketiga yang ingin dilakukan Rosma adalah menantang SDM KAI untuk keluar dari zona nyaman, dan mengubah jenjang karier mereka.
Rosma ingin karyawan KAI saat ini tak hanya memiliki spesialisasi untuk hard skill, tetapi juga memiliki soft skill yang bisa membuat mereka tertantang mengembangkan diri dan masuk ke jenjang karier apapun.
“Selama ini justru struktur di KAI yang mematikan jenjang karier, seolah-olah jadi spesialisasi, bahwa masinis tetap masinis sampai pensiun, pramugari kereta tetap pramugari, KAI kok bangga sih mayoritas SDM-nya lulusan SMA. Ini yang saya ingin ubah,” ungkap Rosma.
Tantangan ini bukan hanya soal jenjang karier, tetapi juga dapat mengubah mindset tentang gender. Pasalnya bekerja di KAI dikonotasikan sebagai pekerjaan keras, yang lebih cocok untuk laki-laki.
Kenyataannya, di dunia kerja saat ini, semua bidang bisa dimasuki tanpa batas gender, selama ada kemaunan untuk belajar, dan meningkatkan kompetensi terutama di soft skill.
“Makanya harus ada yang buatin karier pathnya, strukturnya, supaya SDM di KAI itu punya jenjang karier yang jelas dan bernilai tambah bagi perusahaan. Kalau soal dunia kerja, saya yakin meskipun kesannya ini dunia laki-laki, tapi yang perempuan pun bisa terjun dan berkarier di KAI,” tutur Rosma.
Dengan mengubah struktur jenjang karier dan mindset tentang SDM KAI, Rosma ingin ada peluang jenjang karier yang terbuka bagi setiap karyawan. Seorang masinis atau kondektur, bisa memiliki peningkatan karier, bahkan bisa menembus jajaran direksi.
“Saya pernah nanya ke masinis emang kamu mau sampai pensiun jadi masinis? jawabannya enggak mau, Bu. Kamu juga kan pasti punya cita-cita naik ke top manajemen? Jawabannya iya, Bu. Tapi pas ditanya gimana caranya? jawabnya enggak tahu. Ini yang bikin saya bertekad SDM KAI harus naik kelas dan kompeten, masinis juga bisa naik jadi direksi,” ujar Rosma. (jen)