Review Isu Sepekan: Demo Meluas, Pasar Keuangan Tertekan, hingga Peluncuran Patriot Bond dan Arah Kebijakan Politik

BRIEF.ID — Kondisi Indonesia dalam sepekan terakhir diwarnai oleh eskalasi politik, gejolak sosial, hingga dinamika ekonomi yang berdampak langsung pada stabilitas pasar dan kebijakan pemerintah. Dari demonstrasi besar yang menelan korban jiwa, pelemahan rupiah dan IHSG, hingga peluncuran instrumen pembiayaan baru, isu-isu ini menjadi sorotan publik sepanjang akhir Agustus 2025.

Gelombang aksi massa bermula dari unjuk rasa pada Senin (25/8/2025) di depan Gedung DPR menolak tunjangan fantastis anggota DPR. Aksi yang diikuti berbagai elemen masyarakat meluas dan memicu bentrokan dengan aparat. Kericuhan meningkat pada Kamis (27/8/2025) hingga terjadi insiden tragis seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan (21), tewas dilindas kendaraan taktis Brimob di Pejompongan.

Peristiwa tersebut memicu kemarahan publik dan aksi lanjutan di Polda Metro Jaya serta Mako Brimob Kwitang. Demonstrasi menjalar ke Solo, Bandung, Sukabumi, Makassar, NTB, dan sejumlah daerah lain, mengakibatkan kerusakan fasilitas umum, pembakaran gedung DPRD, jatuhnya korban meninggal dunia, hingga penjarahan rumah pejabat.

Respon Presiden Prabowo Subianto yang hanya menyatakan kekecewaan dinilai tidak cukup. Publik mendesak Presiden meminta maaf terbuka, membatalkan kenaikan tunjangan DPR, dan memberhentikan Kapolri. Presiden kemudian memerintahkan pemeriksaan pelanggar, penindakan tegas aksi anarki, serta revisi kebijakan tunjangan DPR.

Eskalasi politik berdampak pada pasar modal. IHSG jatuh 2,27% pada Jumat (29/8/2025) ke level 7.771, pelemahan terbesar dalam sebulan. Sepanjang pekan terakhir Agustus, IHSG terkoreksi 0,36%. Rupiah melemah 0,89% menjadi Rp16.500 per dolar AS, terendah sejak awal Agustus. Bank Indonesia diperkirakan melakukan intervensi di pasar valas dan obligasi pemerintah untuk menjaga stabilitas.

Kondisi Jakarta yang tidak kondusif memaksa pemerintah membatalkan Rakornas TPIP dan Digitalisasi Daerah 2025 serta konferensi pers bulanan APBN KiTa.

Ekonomi dan Bisnis

Selain eskalasi politik yang menyedot perhatian publik luas, terdapat sejumlah peristiwa yang terjadi di sektor ekonomi, bisnis, dan pasar modal. Di tengah gejolak, BPI Danantara meluncurkan instrumen baru Patriot Bond senilai Rp50 triliun dengan tenor 5–7 tahun. Instrumen ini ditujukan untuk pendanaan proyek strategis nasional di sektor energi terbarukan, pangan, dan ketahanan energi. Meski dianggap solusi alternatif pembiayaan, sejumlah pihak menilai kupon rendah 2% membuat instrumen ini kurang menarik bagi investor.

Selain itu, OJK kembali menegaskan relaksasi aturan buyback tanpa RUPS sebagai bantalan pasar. Dari komitmen Rp26,52 triliun, realisasi baru mencapai Rp3,7 triliun per Agustus 2025.

BPI Danantara juga menandatangani kerja sama dengan GEM China untuk hilirisasi nikel, senilai Rp135 triliun. Sementara itu, BKPM mencatat realisasi investasi hilirisasi mencapai Rp280,8 triliun pada semester I-2025, mayoritas berasal dari sektor mineral.

Di sektor transportasi, pemerintah menetapkan 36 bandara berstatus internasional, 30 di antaranya dikelola InJourney Airports. Kebijakan ini diharapkan mendongkrak pariwisata, perdagangan, dan investasi.

Kebijakan Politik dan Kepercayaan Publik

Dari sisi arah kebijakan politik, pada pekan lalu Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan melarang rangkap jabatan menteri/wakil menteri di BUMN dalam dua tahun ke depan. Sementara itu, pidato kenegaraan Presiden Prabowo menegaskan arah kebijakan ekonomi kerakyatan, kedaulatan pangan, serta penguatan koperasi desa.

Di tengah situasi demonstrasi dan kontroversi DPR, krisis kepercayaan terhadap pemerintah semakin menguat. Sejumlah kebijakan ekonomi kembali menuai sorotan. Rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan belum mendapat restu DPR, meski pemerintah telah menyiapkan tambahan anggaran Rp10 triliun untuk PBI dan dana cadangan. Di sisi lain, alokasi transfer ke daerah dalam RAPBN 2026 justru anjlok 29,34% menjadi Rp650 triliun, memicu kegelisahan pemerintah daerah. Presiden Prabowo menegaskan manfaat tetap akan dirasakan rakyat, namun kekhawatiran tetap muncul. Sementara itu, harga minyak goreng subsidi “Minyakita” makin mahal. Di sejumlah wilayah, harga telah menembus Rp16.700–17.000 per liter, bahkan mencapai Rp20.000 di kawasan timur. Angka tersebut jauh di atas HET Rp15.700. Hal ini mengangkat kekhawatiran tentang rapuhnya tata kelola pangan.

Situasi tersebut berlangsung di tengah demonstrasi buruh dan kontroversi tunjangan DPR, sehingga publik melihat adanya paradoks: biaya hidup yang meningkat, anggaran daerah yang menyusut, dan elite politik yang sibuk mengurus privilese. Kombinasi ekonomi yang rapuh, politik yang defensif, dan hukum yang lemah dalam memberikan kepastian, kian memperdalam krisis kepercayaan yang kemudian berimbas langsung pada stabilitas pasar. (ano)

Share post:

Subscribe

spot_imgspot_img

Popular

More like this
Related

Rano Ajak Masyarakat Gotong Royong Jaga Jakarta

BRIEF.ID - Wakil Gubernur DKI Jakarta, Rano Karno mengajak...

Menko Airlangga Sebut Dinamika Sosial & Politik Berdampak Jangka Pendek terhadap Ekonomi

BRIEF.ID - Dinamika sosial dan politik yang terjadi selama...

Sri Mulyani Sampaikan Permohonan Maaf dan Janji Berbenah Diri Usai Rumah Dijarah Massa

BRIEF.ID - Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, menyampaikan...

IATA: Permintaan Penumpang Global Tumbuh 4 Persen Pada Juli 2025

BRIEF.ID- Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) merilis data permintaan...