BRIEF.ID — Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 yang diajukan pemerintah membawa misi ekspansi fiskal di tengah peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia. Namun, Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menilai langkah tersebut masih bertumpu pada fondasi fiskal yang rapuh, dengan risiko deviasi asumsi makro, lemahnya struktur penerimaan, hingga rigiditas belanja negara.
Dalam laporan terbarunya, CORE menyoroti tiga catatan utama RAPBN 2026. Pertama, asumsi makro yang terlalu optimistis berisiko mengulang deviasi target dan realisasi sebagaimana terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Kedua, struktur penerimaan negara masih lemah, dengan basis pajak sempit dan ketergantungan tinggi pada komoditas. Ketiga, ekspansi belanja pemerintah belum diimbangi dengan perbaikan kualitas dan efisiensi.
“Target pertumbuhan ekonomi 5,4 persen yang ditetapkan pemerintah terlalu ambisius, mengingat proyeksi pertumbuhan 2025 justru melemah ke kisaran 4,7–4,8 persen,” tulis laporan CORE. Tanpa percepatan signifikan di industri pengolahan dan sektor jasa bernilai tambah, target ini dinilai rawan tidak tercapai.
Di sisi lain, penerimaan negara berpotensi tertekan. Target pendapatan sebesar Rp3.147 triliun pada 2026, naik 11 persen dari outlook 2025, sangat bergantung pada asumsi pertumbuhan tersebut. Padahal realisasi penerimaan tahun sebelumnya hanya tumbuh 2 persen dan bahkan menurun 9 persen pada paruh pertama 2025.
Belanja negara pun dinilai menghadapi rigiditas. Pos pembayaran bunga utang dalam RAPBN 2026 mencapai Rp599 triliun atau 19 persen dari total belanja pemerintah pusat. Angka ini dinilai mengurangi ruang fiskal untuk investasi jangka panjang. Selain itu, alokasi Transfer ke Daerah (TKD) dipangkas hingga 29 persen, kontraksi terbesar sejak desentralisasi fiskal dimulai, sehingga berpotensi menekan daerah yang masih bergantung pada bantuan pusat.
CORE juga menyoroti efektivitas belanja strategis, seperti program makan bergizi gratis (MBG) dan ketahanan pangan. Anggaran besar dinilai belum disertai mekanisme pelaksanaan yang memadai, sehingga berisiko tidak optimal. Sementara subsidi energi yang mencapai 5,5 persen dari total belanja APBN rentan terguncang fluktuasi harga minyak dunia.
Dalam refleksinya atas 80 tahun perjalanan fiskal Indonesia, CORE menyebut belanja pemerintah yang meningkat rata-rata 27 persen sejak 1960-an belum mampu mengakselerasi produktivitas ekonomi. PDB per kapita hanya tumbuh 3,7 persen, jauh tertinggal dibandingkan lonjakan belanja.
CORE merekomendasikan sejumlah langkah, mulai dari reformasi perpajakan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi berbasis digital, realokasi belanja rutin menuju sektor produktif, reformulasi anggaran pendidikan agar lebih tepat sasaran, hingga penguatan kapasitas fiskal daerah.
“Tanpa reformasi struktural yang menyeluruh, RAPBN 2026 berisiko hanya menjadi ekspansi fiskal semu yang tidak mampu mendorong pertumbuhan berkelanjutan,” tegas laporan itu. (ano)