Jakarta, 14 April 2022- Pemerintah mempertimbangkan kenaikan inflasi global sebagai imbas dari ketegangan geopolitik akibat perang Rusia Ukraina, dalam Rancangan Kebijakan Fiskal Tahun 2023.
Hal tersebut dibahas dalam rapat terbatas tentang Rancangan Rencana Kerja Pemerintah dan Pagu Indikatif Tahun 2023 yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis, 14 April 2022. Dalam rapat tersebut antara lain dibahas mengenai kerangka ekonomi makro, yaitu proyeksi ekonomi tahun depan dan arah kebijakan fiskalnya, serta indikasi dari pagu yang akan dilakukan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyampaikan keterangan selepas rapat mengatakan bahwa pada tahun 2023 diharapkan pandemi Covid-19 mulai menurun dan Indonesia masuk pada periode endemi sehingga akan mengurangi tekanan terhadap masyarakat dan perekonomian. Meskipun demikian, Sri mengatakan bahwa pada tahun depan akan muncul risiko baru akibat perang di Ukraina dan ketegangan geopolitik yang menyebabkan naiknya harga-harga komoditas dan mendorong inflasi tinggi di seluruh dunia, terutama di negara-negara maju.
“Kenaikan komoditas dan inflasi yang tinggi menyebabkan pengetatan kebijakan moneter, baik dari sisi likuiditas maupun suku bunga yang kemudian akan menimbulkan potensi volatilitas arus modal dan juga nilai tukar serta tekanan pada sektor keuangan,” ujar Menteri Keuangan dalam keterangan tertulis.
Lebih lanjut, Sri mengatakan bahwa hal-hal tersebut akan menghasilkan pemulihan ekonomi yang melemah secara global sesuai dengan yang diproyeksikan oleh berbagai lembaga. Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia akan melemah 1 persen, dari tadinya 4,5 persen menjadi hanya 3,5 persen. Bank Dunia juga merevisi angka pertumbuhan ekonomi global, dari 4,4 persen ke 3,5 persen. Kemudian Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) juga meramalkan pertumbuhan ekonomi dunia akan melemah dari 4,4 persen ke 3,1-3,7 persen.
Sementara itu, dari sisi inflasi justru akan mengalami kenaikan. Bank Dunia memperkirakan inflasi di negara-negara maju akan naik dari 3,9 persen ke 5,7 persen. Sedangkan di negara-negara berkembang akan mengalami tekanan inflasi dari 5,9 persen ke 8,6 persen.
Menurut Sri, kondisi tersebut tentu akan menimbulkan dampak yang sangat rumit. Di berbagai belahan dunia sudah mengalami tekanan atau bahkan krisis pangan akibat kenaikan harga komoditas, seperti di Timur Tengah dan Afrika Utara di mana mereka mengimpor 80 persen gandum yang berasal dari Rusia dan Ukraina.
“Sekarang mereka menghadapi situasi tekanan terhadap suplai makanannya. Dan ini terjadi pada saat sesudah 2,5 tahun mengalami pandemi. Demikian juga dengan Sub-Sahara Afrika yang dalam hal ini juga mengalami tekanan akibat kenaikan harga-harga pangan,” lanjut Sri.
Oleh karena itu, pemerintah akan mempertimbangkan beberapa hal untuk dimasukkan di dalam desain Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2023. Menurut Sri, dengan kenaikan inflasi dan pengetatan moneter, maka pemerintah juga akan mengalami tekanan dari sisi utang baik dari jumlah bunga utang maupun cicilan yang harus dibayar.
“Ini yang harus kita pertimbangkan sebagai bagian untuk mendesain APBN 2023 kembali menuju pada defisit di bawah 3 persen, yaitu agar jumlah kebutuhan untuk menerbitkan surat utang bisa diturunkan secara bertahap namun tetap berhati-hati,” ungkapnya.