BRIEF.ID – Bulan suci Ramadan selalu istimewa. Ia hadir sebagai jeda di tengah sibuknya dunia. Yudi Latif dalam Moral Puasa (2023) menyebut jeda Ramadan memberi momen refleksi diri, memulihkan tenaga rohani untuk membakar benalu yang mengerdilkan moralitas. Dalam keheningan sahur dan ketulusan berbuka, umat Islam menemukan ruang mendekatkan hubungan personal pada Tuhan dengan mengeratkan tali kasih sesama.
Tahun ini, Ramadan beriringan dengan momentum besar umat Katolik: Tahun Yubileum (Tahun Suci) – ditetapkan Paus Fransiskus mulai 24 Desember 2024 hingga 6 Januari 2026. Temanya sangat eksistensial dengan nada optimistik: Peziarah Harapan – yang menjadi inspirasi judul tulisan ini. Tahun Yubelium adalah momen Gereja mewujudkan belas kasih Tuhan dan mendorong tindakan amal kepada sesama. Dua tradisi spiritual ini, hemat saya, berbagi pesan yang sama: harapan menuju harmoni lintas iman di Indonesia.
Harmoni Iman
Ramadan dan Yubileum bertemu dalam satu titik: harmoni iman. Salah satu inti dari bulan Ramadan adalah menjalankan ibadah puasa. Bapak Tasawuf Modern, Imam Al-Ghazali menekankan hakikat puasa tidak sekadar menahan lapar dan dahaga (M Nurdin Zuhdi dalam Agar tidak Hanya Sekadar Lapar dan Dahaga, 2023). Puasa itu seni mengendalikan hawa nafsu dan memperhalus budi. Ini adalah proses transformasi batin yang, jika dijalankan dengan penuh iman, bisa mengaktifkan empati dan menumbuhkan solidaritas. Jadi puasa tidak berhenti pada soal personal tapi juga sosial. Karena itu, Ramadan juga menjadi ruang kebahagiaan kolektif. Buka puasa bersama lintas agama, misalnya, menjadi ritual yang mempertemukan warga dalam kebersamaan sederhana. Suasana seperti ini yang berabad lalu digambarkan Martin Buber dalam I and Thou (1923): manusia menemukan makna sejati dalam relasi yang tulus dengan orang lain.
Sementara itu, dalam tradisi Yubileum, ada makna mendalam tentang rekonsiliasi dan pembaruan. Tahun Yubelium berakar dari tradisi bangsa Israel sebagai momen pembebasan: pengembalian tanah, penghapusan hutang, dan pembebasan budak. Dalam Tradisi Yahudi, Yobel dirayakan sebagai waktu rekonsiliasi dan solidaritas terhadap yang miskin dan lemah. Gereja Katolik mengadopsi tradisi ini pada tahun 1300 lewat Paus Bonifasius VIII. Gereja melanjutkan tradisi ini – hingga kini dirayakan setiap 25 tahun sekali sebagai panggilan untuk memperbarui iman, pengharapan, dan kasih persaudaraan. Paus Fransiskus dalam Frateli Tuti (2020) menekankan persaudaraan sejati harus melampaui batas-batas agama dan budaya, menjadi fondasi bagi kehidupan bersama yang lebih adil dan damai.
Ini menjadi relevan untuk konteks Indonesia, di mana pluralitas sering kali diuji oleh sekat-sekat prasangka. Bayangkan jika semangat Yubileum ini dipadukan dengan spirit Ramadan. Umat beragama menjadi peziarah harapan yang menghidupi kasih dan solidaritas. Dalam masyarakat yang semakin terfragmentasi oleh identitas, dua tradisi spiritual ini bisa menjadi momentum merajut kembali solidaritas yang terkoyak. Ini bukan utopia. Di banyak tempat di negeri ini, rumah ibadah telah lama menjadi titik temu bagi dialog dan kerja sama sosial.
Harapan Bersama
Indonesia punya modal sosial kuat mewujudkan harmoni lintas iman. Dalam studinya tentang agama di Jawa, Clifford Geertz menunjukkan bagaimana sinkretisme menjadi fondasi kebudayaan kita. Kebiasaan gotong royong, saling mengunjungi saat hari raya, dan saling berbagi telah lama dipraktekkan seantero negeri. Tidak mengherankan jika Indonesia dinobatkan sebagai negara paling dermawan di dunia untuk keenam kalinya berturut-turut menurut World Giving Index 2023. Penilaian pada 142 negara itu didasarkan pada tiga aspek: membantu orang lain, menyumbang uang, dan menjadi relawan. Modal sosial tersebut menjadi bagian penting untuk merawat kesadaran keberagaman sebagai fondasi membangun toleransi.
Tahun 2024 mencatatkan momen penting bagi toleransi beragama – ketika Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar mencium kepala Paus Fransiskus. Gestur sederhana ini menyiratkan eratnya hubungan Islam dan Katolik, sekaligus merefleksikan harmoni kehidupan beragama di Indonesia. Data mendukung optimisme ini: Survei Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama menunjukkan tren positif – skor 73,09 pada 2022, meningkat menjadi 76,02 pada 2023, dan terus naik ke 76,47 pada 2024. Sementara data Setara Institute 2023 mencatat penurunan kasus intoleransi sebesar 15 persen – menandakan adanya kemajuan dalam menerima perbedaan.
Namun, menjaga kerukunan butuh lebih dari sekadar toleransi pasif. Keragaman hanya bisa dirawat dengan empati aktif. Tradisi Open House, yang menurut survei Wahid Foundation 2023 dinilai positif oleh 87 persen responden, menjadi contoh konkret. Di berbagai daerah, praktik saling membantu dalam perayaan keagamaan sudah berjalan dengan baik. Ada peran besar Remaja Masjid dalam prosesi Semana Santa di Flores Timur, NTT. Aksi saling menjaga dalam perayaan keagamaan Kristen dan Islam dalam tradisi Pela Gendong di Maluku. Pelibatan pemuda Muslim seperti Banser Nahdlatul Ulama dalam perayaan Natal di Jawa, dsb. Itu semua membuktikan toleransi di Indonesia bukan sekedar narasi tetapi realitas yang bisa dikelola dengan baik.
Ramadan dan Yubileum bisa menjadi momentum memperkuat empati aktif ini. Dua tradisi ini mengingatkan kita bahwa agama tidak sekadar doktrin tetapi praksis kehidupan. Kita semua adalah peziarah yang mencari cahaya dalam perjalanan hidup ini. Dan sering kali, kita menemukan terang itu dalam kehadiran orang lain. Seperti yang ditulis Rumi: The wound is the place where the light enters you. Luka-luka sejarah dan gesekan sosial bisa menjadi ruang bagi cahaya kebijaksanaan dan rekonsiliasi, jika kita mau membuka hati.
“Ramadan yang Menyenangkan dan Menenangkan,” tema bulan suci tahun ini. Jika dimaknai bersama sebagai peziarah harapan, bisa menjadi fondasi kokoh bagi Indonesia yang lebih harmonis. Di meja iftar, di bawah lonceng gereja, dalam denting gamelan pura, di tengah suara gong vihara, atau nyala lilin di klenteng, kita merayakan keberagaman sebagai anugerah – sambil terus melangkah bersama menuju masa depan yang penuh cahaya. Itulah hakikat kita sebagai peziarah harapan.
Penulis: Aleksander Nantu (ASN Ditjen Bimas Katolik)