BRIEF.ID – Penasihat Khusus Presiden Urusan Energi, Purnomo Yusgiantoro mengatakan, pengalihan subsidi bahan bakar minyak (BBM) menjadi bantuan langsung tunai (BLT) harus berupa keputusan bersama pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB) mengaku bahwa kebijakan itu akan direspons gelombang resistensi dari berbagai kalangan.
“Keputusan ini kan harus menjadi keputusan yang tidak hanya berasal dari eksekutif, tetapi juga dari DPR. Karena itu menyangkut masalah yang sangat sensitif,” ujar Purnomo saat menjadi pembicara pada Ecofest 2024 yang diselenggarakan Bloomberg Technoz di Jakarta, pada Kamis (28/11/2024).
Purnomo mengatakan, rencana penerapan kebijakan pengikisan nilai subsidi BBM sebenarnya telah digaungkan sejak lebih dari 20 tahun lalu.
“Itu pernah kita lakukan dulu pada 2000-an, tetapi memang pada waktu itu keadaannya sulit sekali. Waktu itu kita kena krisis dan harga minyak tinggi. Kalau kita tidak melepas sebagian alokasi subsidi BBM, bisa kolaps negara kita,” jelas dia.
Menurut Purnomo, pemerintah pada waktu itu memutuskan untuk membebaskan 7 komoditas bahan bakar dari topangan subsidi, termasuk avtur, avgas, fuel oil, dan diesel oil.
Disebutkan, tiga jenis BBM itu sampai saat ini masih dipertahankan untuk tetap disubsidi, termasuk Premium RON 88 yang sekarang menjadi Pertalite RON 90, minyak tanah atau kerosene, serta Solar yang dalam perkembangannya mengalami penaikan standar menjadi biodiesel B35.
“Jadi, pelan-pelan kita substitusi Solar itu dengan B35. Sekarang sudah sampai B35, nanti terus jalan ke B40, B50 dan seterusnya. Kemudian, minyak tanah kita substitusi dengan LPG (liquefied petroleum gas/gas minyak cair),” tutur Purnomo.
Tepat Sasaran
Dia menjelaskan, upaya untuk menghemat anggaran subsidi BBM agar lebih tepat sasaran memang akan efektif jika konsepnya diubah dari subsidi harga menjadi subsidi langsung. Subsidi langsung yang dimaksud adalah memberikan bantuan langsung tunai ke rakyat menggunakan BLT.
“Tidak ada pilihan, walaupun memang agak bumpy (bergejolak). Bumpy itu ya masyarakat banyak menolak, tetapi so far sekarang jalan sih. Sekarang kan pilihan pemerintah menghabiskan anggaran hampir Rp200 triliun lebih untuk Pertalite, Solar, terus LPG 3 Kg, dan kerosene. Lalu subsidi listrik itu ada R1 dan R1. Subsidi R1 itu yang 450 VA dan R2 yang 900 VA. Tentunya, keputusan harus dikembalikan kepada antara eksekutif dan legislatif untuk memutuskan,” kata Purnomo.
Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengumumkan keputusan final pemerintah untuk mengalihkan sebagian subsidi BBM ke format BLT.
Bahlil mengatakan, pengalihan subsidi BBM menjadi BLT akan dilakukan secara kombinasi atau blended. Dengan kata lain, subsidi BBM tidak akan sepenuhnya dicabut, tetapi hanya seJ , jadi skemanya ini kemungkinan besar itu blending antara ada subsidi barang dan sebagian subsidi BLT,” kata Bahlil.
Ia mengaku sudah menemui Prabowo untuk membahas keputusan final mengenai perubahan skema subsidi BBM mulai tahun depan, berikut tata cara penyaluran dan kriteria penerimanya agar lebih tepat sasaran.
Dia juga menggarisbawahi bahwa perubahan skema tersebut tidak berarti pemerintah akan mencabut subsidi BBM. “Semuanya ada subsidi, cuma selama ini kan kita tahu, bahwa subsidi ini ditengarai sebagian tidak tepat sasaran,” lanjutnya.
Diketahui, dalam APBN 2025, total volume BBM bersubsidi dialokasikan sebanyak 19,41 juta kiloliter (kl). Perinciannya, minyak tanah sebesar 0,52 juta kl dan minyak solar sejumlah 18,89 juta kl.
Sementara itu, untuk LPG 3 kg, pemerintah mengalokasikan volume sebesar 8,2 juta metrik ton. Penetapan alokasi subsidi ini mengalami penurunan dibandingkan dengan dengan target tahun sebelumnya sebesar 19,58 juta kl, didorong oleh rencana efisiensi penyaluran BBM bersubsidi pada 2025 agar lebih tepat sasaran.
Pemerintah sendiri telah mengusulkan untuk mempertahankan besaran subsidi untuk solar sebesar Rp1.000 per liter pada 2025. Keputusan ini diambil setelah mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi dari kenaikan harga BBM.
Selain BBM dan LPG, pemerintah juga mengalokasikan anggaran Rp 90,22 triliun untuk subsidi listrik pada 2025 dan naik dari target 2024 sejumlah Rp 73,24 triliun. Angka ini mencakup sisa kurang bayar 2023 sebesar Rp 2,02 triliun. Kenaikan didorong oleh perkiraan kenaikan jumlah penerima subsidi listrik dari 40,89 juta pelanggan pada 2024 menjadi 42,08 juta pada 2025. (bloomberg technoz/nov)