BRIEF.ID – Otonomi daerah yang seharusnya menjadi pilar penting dalam menciptakan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Namun, tujuan luhur ini seringkali terhambat oleh kepemimpinan yang tidak mumpuni.
Pemimpin daerah yang berkualitas seharusnya tidak hanya memahami kebutuhan rakyat secara mendalam, tetapi juga mampu merumuskan kebijakan yang benar-benar berdampak positif bagi masyarakat.
Sayangnya, dalam banyak kasus, yang kita saksikan adalah pemimpin yang minim visi, tidak inovatif, dan gagal menangkap aspirasi rakyat. Alih-alih membawa kemajuan, mereka seringkali terjebak dalam birokrasi yang stagnan dan kepentingan politik sesaat.
Tanpa kepemimpinan yang tanggap dan berkualitas, otonomi daerah hanyalah ilusi, jargon kosong yang tak pernah bertransformasi menjadi pembangunan nyata.
Dalam praktiknya, memilih pemimpin berkualitas di tengah sistem politik yang korup bukan hanya sulit, tetapi sering kali mustahil. Proses politik yang seharusnya berorientasi pada kepentingan rakyat justru kerap didikte oleh kepentingan elite politik dan aktor ekonomi.
Pilkada, yang idealnya menjadi mekanisme demokratis untuk menyeleksi pemimpin berintegritas, telah tereduksi menjadi ajang transaksional. Kartel politik sekelompok elit yang mendominasi dan mengendalikan jalannya proses politik adalah salah satu tantangan terbesar dalam Pilkada.
Mereka menentukan calon pemimpin bukan berdasarkan kompetensi atau integritas, melainkan kepentingan kelompok. Dalam skema ini, prinsip meritokrasi hancur, digantikan oleh kekuatan transaksional yang melanggengkan kekuasaan sekelompok kecil orang.
Pemimpin yang lahir dari kartel politik hampir selalu menjadi boneka yang dikendalikan oleh kepentingan para patronnya. Kebijakan yang mereka buat jarang mencerminkan aspirasi rakyat, karena prioritas utamanya adalah melayani kepentingan para elite yang mendukung mereka.
Rakyat, dalam situasi ini, menjadi pihak yang paling dirugikan, karena kepemimpinan yang dihasilkan lebih berorientasi pada melanggengkan kekuasaan daripada membawa perubahan nyata. Ini adalah pengkhianatan terhadap semangat demokrasi dan otonomi daerah, di mana kepentingan rakyat seharusnya menjadi yang utama.
Selain kartel politik, politik uang merupakan masalah kronis yang menghancurkan integritas Pilkada. Banyak calon pemimpin yang memanfaatkan kekuatan finansial untuk membeli suara, menjadikan Pilkada ajang transaksi, bukan kompetisi ide dan gagasan.
Masyarakat sering kali menjadi objek yang diperjualbelikan suaranya melalui uang atau bantuan sosial, terutama menjelang pemilihan. Praktik politik uang ini merusak esensi demokrasi, karena pemimpin yang terpilih bukanlah yang didukung karena integritas dan kompetensi, melainkan karena mereka berhasil “membeli” dukungan.
Penulis : Dr Benny Susetyo, Pakar Komunikasi Politik
No Comments