BRIEF.ID – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang seharusnya menjadi manifestasi dari demokrasi dan otonomi daerah, bukan memperlihatkan wajah suram politik Indonesia.
Alih-alih menjadi sarana untuk memilih pemimpin yang memahami kebutuhan rakyat, Pilkada kerap terjebak dalam pusaran politik transaksional, ambisi pribadi, dan praktik-praktik kotor.
Harapan masyarakat untuk mendapatkan pemimpin yang berintegritas dan mampu membawa kemajuan sering kali pupus di hadapan dinamika politik yang tidak sehat. Dalam situasi ini, pertanyaannya semakin mendesak; bagaimana kita memastikan bahwa proses demokrasi ini melahirkan pemimpin sejati – negarawan yang bebas dari kepentingan diri sendiri, dan berkomitmen penuh terhadap kepentingan rakyat?
Syarat utama seorang pemimpin berkualitas adalah sudah selesai dengan dirinya sendiri. Artinya, tidak lagi dikuasai ambisi pribadi, tak haus kekuasaan, dan mampu mengutamakan kepentingan rakyat di atas segalanya.
Namun, di Indonesia, konsep ini lebih sering menjadi retorika kosong ketimbang kenyataan. Pemimpin yang seharusnya menjadi pelayan rakyat justru banyak yang terjebak dalam perangkap kekuasaan dan kepentingan pribadi.
Jabatan dipandang sebagai alat untuk memperkaya diri, memperkuat dinasti politik, dan mempertahankan status quo, bukan sebagai amanah yang harus diemban dengan integritas. Praktik politik uang, dinasti, dan manipulasi bantuan sosial dalam Pilkada menunjukkan betapa rusaknya sistem politik kita.
Alih-alih memilih pemimpin yang visioner dan berkomitmen pada kepentingan publik, Pilkada sering kali menjadi panggung transaksi politik kotor yang menegaskan bahwa banyak pemimpin belum selesai dengan dirinya sendiri – mereka justru semakin tenggelam dalam kekuasaan yang korup.
Penulis : Dr Benny Susetyo, Pakar Komunikasi Politik
No Comments