PHPU Pilpres 2024, Momentum MK dan DPR Kembalikan Kepercayaan Rakyat

April 4, 2024

BRIEF.ID – Permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024, yang diajukan pasangan calon nomor urut 1 dan nomor urut 3 menjadi momen penting bagi Mahkamah Konstitusi (MK) dan DPR untuk mengembalikan kepercayaan rakyat.

Pernyataan itu, disampaikan Sosiolog Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) sekaligus aktivis Reformasi 1998, Ubedilah Badrun, dalam acara “Speak Up,” di YouTube Channel Abraham Samad, Kamis (4/4/2024).

Menurut akademisi yang akrab disapa Kang Ubed, baik MK maupun DPR sedang mengalami ketidakpercayaan masyarakat atau public distrust yang luar biasa akibat ketidak mampuan menjalankan fungsi yudikatif maupun legislatif, bahkan cenderung dikendalikan oleh kekuasaan eksekutif.

Puncak ketidakpercayaan masyarakat kepada MK sebagai lembaga hukum yang seharusnya mengawal dan menjaga konstitusi, terjadi ketika MK mengeluarkan putusan Nomor 90 yang memberi karpet merah kepada Gibran Rakabuming Raka maju sebagai calon wakil presiden di Pilpres 2024.

“Mahkamah Konstitusi sedang mengalami public distrust yang luar biasa, Ketua MK diberhentikan karena melanggar etika berat saat membuat putusan nomor 90, sebelumnya juga sempat ada ketua MK yang ditangkap. Nah momentum sidang perkara PHPU Pilpres 2024 ini harusnya dijadikan oleh Hakim Mahkamah konstitusi sebagai momentum untuk mengembalikan kepercayaan publik itu. Caranya ambil keputusan secara adil,” kata Kang Ubed.

Yang kedua, lanjutnya, pengajuan permohonan PHPU yang sidangnya sedang berlangsung di MK pun menjadi momentum penting untuk DPR untuk memproses Hak Angket untuk membongkar kecurangan Pilpres 2024.

Hal itu, disebabkan selama kurang lebih 5 tahun DPR bisu terhadap pelanggaran eksekutif, bahkan dikendalikan oleh kekuasaan sehingga melahirkan banyak aturan perundangan yang bermasalah seperti amandemen UU KPK dan UU Omnibus Law.

“Saat demonstrasi menentang UU Omnibus Law, DPR tidak mendengar suara rakyat dalam hal ini mahasiswa dan buruh. Nah kali ini, karena persoalan Pemilu 2024 sangat sensitif, harusnya dijadikan momentum penting oleh DPR untuk mengembalikan kepercayaan rakyat. Caranya dengan memproses hak angket,” ujar Kang Ubed.

Meski saat ini ada gelagat partai politik enggak memproses Hak Angket, Kang Ubed meyakini kemungkinan untuk berbalik arah dalam politik sangat mungkin terjadi, apalagi jika ada desakan civil society dan penguatan dari putusan MK yang memberikan hukuman terhadap praktik kekuasaan yang melanggar konstitusi.

Dalam politik, lanjutnya, kemungkinan berubah-ubah arah adalah seni. Sekarang kelihatannya ikut kekuasaan, tapi bisa saja akan berbalik menentang kekuasaan, begitu pula sebaliknya.

“DPR menurut saya punya peluang untuk menunjukkan kepada publik bahwa seluruh kekuasaan yang melanggar konstitusi harus diberikan hukuman dan momentumnya, kali ini,” ungkap Kang Ubed.

Dia menyampaikan, praktik kekuasaan yang melanggar etika, Undang-Undang Dasar 1945, dan mengabaikan aspirasi publik, serta mengutak-atik undang-undang demi kekuasaan saat ini sedang terjadi dan tidak boleh dibiarkan oleh lembaga legislatif dan yudikatif.

Kang Ubed menyebut, pemerintahan Jokowi menjadikan kleptokrasi melekat pada kekuasaan, begitu juga autocratic legalism, neo otoritarianisme, new nespotism, dan Java masculinities.

Hal itu antara lain, terlihat dari Perppu yang diutak-atik seenaknya dan kemudian didesak untuk diputuskan segera oleh DPR. Bahkan ada peraturan yang belum dibuat dan diajukan kepada DPR namun telah diberlakukan, seperti perubahan PKPU yang meloloskan pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres di Pilpres 2024.

“Terlalu banyak label melalui basis argumen teoritis untuk kekuasaan sekarang, yang bisa dikatakan adalah kekuasaan yang buruk. Kalau kemudian praktik kekuasaan yang buruk ini tidak diberikan hukuman, saya kira para guru besar dan bangsa ini akan terus meneteskan air mata,” tutur Kang Ubed.

Permisif
Sosiolog Politik itu, meminta MK dan DPR tidak berlaku permisif atas tekanan kekuasaan yang dikendalikan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Hal itu bukan hanya untuk menyelamatkan demokrasi, tetapi juga untuk kelangsungan masa depan generasi saat ini, agar memiliki etika dan tidak permisif terhadap preseden buruk.

“Jangan sampai generasi sekarang, generasi Z berpikir oh berarti enggak apa-apa ya melanggar etika berat, enggak apa-apa ya korupsi merajalela, enggak apa-apa ya mengutak-atik undang-undang demi kekuasaan. Kita berdosa kalau membiarkan hal ini terjadi,” kata Kang Ubed.

Terkait dengan itu, MK dan DPR diharapkan mengambil posisi yang tegas dalam menyikapi berbagai kecurangan Pemilu 2024 yang kasat mata dan permohonan PHPU untuk memberikan hukuman pada kekuasaan saat ini yang sangat kleptokratis.

Menurut dia, para guru besar telah menyuarakan kritik bahkan membuat kajian akademis terkait pelanggaran terhadap etika dan hukum yang dilakukan penguasa.

Kritik tersebut sangat penting, sehingga harus dilakukan oleh lembaga legislatif selaku pengawas eksekutif, juga yudikatif selalu lembaga penegak hukum yang tidak memandang muka.

“Kalau ini tidak dilakukan, saya khawatir bukan hanya MK dan DPR saja yang permisif, tapi rakyat juga ikut permisif, tidak mengindahkan etik moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini sebetulnya tanda-tanda hancurnya peradaban bangsa,” ujar Kang Ubed.

Tak hanya itu, pengabaian terhadap kekuasaan yang menabrak etika sangat berbahaya karena akan melahirkan generasi permisif yang akan melakukan praktik-praktik yang sama di masa depan, membiarkan KKN merajalela dan tak ada yang namanya efek jera.

No Comments

    Leave a Reply