BRIEF.ID – Presiden Joko Widodo (Jokowi) diklaim Dewan Pers segera menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur tentang Media Sustainability atau Keberlanjutan Media. Regulasi ini diharapkan menjadi solusi untuk banyaknya platform algoritma yang selama ini banyak dirasakan merugikan bagi pekerja media.
Hingga tulisan ini disusun, draft Perpres baru tersebut belum di tangan penulis. Namun, tentu saja diharapkan dengan Perpres ini diharapkan ada aturan yang lebih rinci dan adil untuk pekerja media yang terhubung dengan internet.
Kasak kasuk soal regulasi ini bukanlah barang baru karena sejak dua tahun lalu ada kabar angin seorang pejabat sekelas Dirjen di Kementerian yang mengurus perihal Komunikasi dan Informasi mengklaim Pemerintah Indonesia sedang menyiapkan Undang-Undang (UU) media.
Dirjen yang mantan wartawan dan jubir timses Pak Jokowi di Pemilu 2019 itu mengklaim UU media itu akan mendorong perusahaan teknologi raksasa, seperti Google dan Facebook, agar mau bernegosiasi dengan perusahaan media terkait bagi hasil yang lebih adil.
Bagi penulis, ini jelas kabar baik bagi media baru (New Media). Media baru merupakan istilah yang digunakan untuk berbagai teknologi komunikasi dengan digitalisasi dan ketersediaannya yang luas untuk penggunaan pribadi sebagai alat komunikasi melalui internet.
Media baru meliputi portal online, televisi online, radio streaming. Namun, sekarang media sosial seperti Twitter, Instagram, Youtube, dan lain-lain dapat dikatakan media baru karena informasi dapat didistribusikan melalui media sosial tersebut.
Pada sisi lain, ada media lama (Old Media) yang merupakan proses produksi dan penyimpanan data atau informasi yang dibagi menjadi dua bagian yaitu media cetak (koran, majalah, tabloid) dan media elektronik (radio, televisi). Menjadi fakta memprihatinkan jumlah media lama terkikis determinasi teknologi.
Kembali soal semangat mas pejabat perihal klaim penyusunan UU Media, penulis saat itu menilai terlalu berlebihan. Mengingat proses penyusunan hingga disetujui sebuah Undang-Undang akan memakan waktu relatif panjang antara Pemerintah dan DPR, meski jarak tempuh Istana Negara di sekitar Monas ke Gedung DPR di Senayan tak terlalu jauh.
Penulis saat itu menyatakan, akan lebih masuk akan bila produk hukum itu berupa Peraturan Presiden (Perpres) yang secara hierarki Peraturan Perundang-undangan berada di bawah UUD 1945, Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah.
Dalam hal penyusunan hingga diteken Presiden, Pepres cukup dilakukan oleh Lembaga Pemerintah terkait. Tidak perlu melibatkan DPR yang artinya ada proses politik yang ribet. Belum lagi, UU Pers hingga saat ini masih dianggap sebagai Kitab Suci yang sakral alias tak bisa diutak-atik.
Namun sang pejabat itu berkeras, produk akhir draft tersebut akan berbentuk Undang-Undang yang di dalamnya juga memuat konten agar perusahaan teknologi untuk berbuat lebih banyak dalam menyaring konten hoaks.
Entah berapa lama dan proses tersebut sampai pada tahap mana karena konon draft Undang-Undang media tersebut getol didiskusikan oleh para pelaku industri media baru untuk kemudian disetorkan ke DPR.
Hingga tiba-tiba menjelang Hari Pers Nasional tahun ini, Dewan Pers mengklaim Presiden segera meneken Perpres Media Sustainability. Lepas dari apa isinya, penulis berharap regulasi ini akan memaksa terciptanya ekosistem digital media yang lebih berkeadilan dan sehat.
Berkeadilan artinya perusahaan teknologi raksasa dipaksa untuk memberikan pendapatan yang lebih baik bagi organisasi media baru yang memproduksi konten yang menguntungkan algoritma perusahaan teknologi raksasa.
Sementara sehat artinya dengan memberikan pendapatan yang lebih baik ke media maka, organisasi media akan mampu memberikan kesejahteraan bagi pekerja media tersebut. Tidak sekadar bermain clickbait maupun berita yang melanggar peraturan dan etika.
Bukan rahasia lagi, Facebook dan Google adalah dua entitas yang paling diuntungkan dengan produk jurnalistik di Indonesia. Lebih dari separuh dari pendapatan iklan digital Indonesia diberikan untuk kedua entitas raksasa itu.
Soal media baru di Indonesia, jumlahnya memanglah luar biasa besar sekaligus sulit diverifikasi kuantitasnya. Dewan Pers menyebut jumlah media baru berupa situs berita saja menjadi lebih dari 47.000. Ini belum media sosial yang luar biasa buanyakkkk!
Meski demikian ekosistem yang semrawut ini punya daya tahan yang luar biasa. Tanpa kehadiran pemerintah, mereka hidup begitu saja, sekaligus sedikit-banyak menguntungkan bagi Facebook dan Google dari setiap klik. Soal kualitas? Ini nomor ke-seratus-sekian.
Indonesia bukan satu-satunya negara yang resah dengan kapitalisme perusahaan teknologi raksasa yang memeras media, namun justru Australia yang bergerak cepat. Tetangga kita itu bergerak cepat merilis regulasi News Media Bergaining Code Law pada 2021.
Peraturan ini mengharuskan perusahaan teknologi untuk membayar komisi kepada perusahaan media, untuk setiap artikel berita yang muncul di snippet (cuplikan) dan tautan Google Search atau yang dibagikan di Facebook.
Alasan mereka kuat, ditemukan bahwa Google dan Facebook menguasai industri media. Pemerintah Australia menduga, Google meraup keuntungan besar dari iklan online. Padahal sebagian besar konten Google berasal dari organisasi-organisasi media. Australia menilai hal ini akan menimbulkan potensi ancaman demokrasi di negaranya.
Jelas saja di awal peraturan ini diteken, Google dan Facebook menolak peraturan tersebut. Keduanya juga mengancam akan hengkang dari Australia termasuk ancaman melakukan blokir pada akun-akun perusahaan media di platformnya.
Gonjang-ganjing ini membuat Pemerintah Australia tak bergeming, alhasil dilakukan revisi sejumlah pasal dalam regulasi baru tersebut yang akhirnya dipatuhi Google dan Facebook. Lepas dari itu, kapital mengucur lebih adil bagi media di Australia.
Akhir kata, Perpres Media Sustainability tentu menjadi kabar yang baik. Penulis banyak berharap isi Pepres ini disusun dengan cermat, dapat dilaksanakan dengan baik dan tidak sekadar memperjuangkan hidup Media Baru, tetapi juga bagi Media Lama yang eksistensinya tergerus jaman.
____
Dr. Algooth Putranto
Penulis adalah wartawan aktif dan pengajar di Sekolah Pascasarjana Universitas Sahid, Jakarta
No Comments