BRIEF.ID – Keputusan Tiongkok memberlakukan kontrol ekspor sejumlah logam tanah jarang menjadi pukulan telak bagi Amerika Serikat (AS) dalam perang dagang.
Selain memberlakukan tarif impor balasan, Tiongkok telah memasukan 7 logam tanah jarang dalam daftar komoditas ekspor yang dibatasi ke AS.
Ke-7 logam tanah jarang tersebut, antara lain disprosium, terbium, dan lutetium, besar dikenal sebagai tanah jarang ‘berat’, yang sangat penting bagi sektor pertanahan, terutama untuk pembuatan senjata nuklir.
Menurut Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS), pembatasan ekspor logam tanah jarang tersebut, membuat posisi AS sangat rentan, karena tidak ada kapasitas di luar Tiongkok untuk memproses tanah jarang berat.
Laporan Geologi AS mencatat bahwa antara tahun 2020 dan 2023, AS mengandalkan Tiongkok untuk 70% impor semua senyawa dan logam tanah jarang.
Ini berarti bahwa pembatasan baru tersebut dapat berdampak keras pada AS, karena logam tanah jarang berat digunakan di bidang militer, antara lain untuk memproduksi rudal, radar, dan magnet permanen.
CSIS mencatat bahwa teknologi pertahanan termasuk jet F-35, rudal Tomahawk, dan kendaraan udara tak berawak Predator yang diproduksi AS, semuanya bergantung pada mineral ini.
Dengan pembatasan ekspor logam tanah jarang ke AS, Tiongkok diperkirakan akan memperluas produksi amunisinya dan memperoleh sistem dan peralatan senjata canggih hingga enam kali lebih cepat daripada AS.
Tak hanya di bidang militer, pembatasan ekspor logam tanah jarang juga akan memukul industri manufaktur teknologi AS, yang justru didorong Presiden Donald Trump untuk kembali merajai pasar global.
“Produsen AS, khususnya di bidang pertahanan dan teknologi tinggi, menghadapi potensi kekurangan dan penundaan produksi akibat pengiriman yang terhenti dan persediaan yang terbatas,” kata Gavin Harper, seorang peneliti material penting di Universitas Birmingham.
Logam tanah jarang diperlukan untuk membuat magnet yang merupakan komponen utama dalam mesin kendaraan listrik, hingga telepon pintar.
Itu sebabnya, pembatasan ekspor logam tanah jarang dari Tiongkok ke AS akan menyebabkan perlambatan produksi bagi perusahaan-perusahaan AS.
Jika kekurangan pasokan logam tanah jarang dari Tiongkok terus berlanjut dalam jangka panjang, AS berpotensi mulai mendiversifikasi rantai pasokannya dan meningkatkan kemampuan domestik dan pemrosesannya.
“Hal ini memerlukan investasi yang substansial dan berkelanjutan, kemajuan teknologi, dan biaya keseluruhan yang berpotensi lebih tinggi dibandingkan dengan ketergantungan sebelumnya pada Tiongkok,” ujar Harper. (jea)