BRIEF.ID – Ketua Majelis Jemaat (KMJ) Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Siloam Jakarta Barat, Pendeta Sarah Martha Juliana Tahitu Hengkesa meraih gelar Doktor program studi Pendidikan Agama Kristen (PAK) Universitas Kristen Indonesia (UKI), Jakarta, Senin (20/10/2025).
Gelar Doktor disandang Pendeta Sarah atas keberhasilannya mempertahankan disertasi berjudul “Memberdayakan Kewirausahaan Warga Gereja Melalui Kemandirian Ekonomi Kreatif Sebagai Upaya Menjadi Jemaat Misioner di Gpib Jemaat Karunia Ciputat” di hadapan Dewan Penguji, yang terdiri atas Prof Dr Dhaniswara K. Harjono SH MBA selaku Rektor UKI; Prof Dr dr Bernadetha Nadeak MPd, PA; Associate Prof Dr Juaniva Sidharta SE, MSi; Associate Prof Dr Dan Kia STh, MTh; Prof Dr Thomas Pentury MSi; Associate Prof Dr Demsy Jura STh, MA, MTh, MPd, DTh; dan Associate Prof Dr Dirk Roy Kolibu MTh, DTh.
Pendeta Sarah yang menjadi lulusan Doktor ke-79 UKI, saat menyampaikan pidato ilmiah mengungkapkan bahwa kewirausahaan dalam perspektif Kristen merupakan suatu konsep yang kompleks dan multidimensional, membutuhkan pendekatan interdisipliner yang mengintegrasikan wawasan teologis dengan teori-teori ekonomi dan sosial.
Salah satu harapan bagi GPIB di usia ke-100 tahun adalah semakin jelasnya wujud GPIB sebagai Gereja misioner, di mana salah satu aspeknya adalah kemandirian di bidang ekonomi, yang ditopang landasan teologi ekonomi yang kuat dan berbasis pada nilai-nilai Alkitabiah, tradisi eklesiologis, serta kesadaran konteks digitalisasi ekonomi yang kini menjadi kebutuhan mendesak yang tak terelakkan.
“Sebagai Gereja mandiri, sudah tentu GPIB memiliki kebijakan dan strateginya sendiri menyangkut misi gereja,” kata Pendeta Sarah.
Panggilan dan pengutusan Gereja, ujar dia, telah mencanangkan Kebijakan Umum Panggilan Pengutusan Gereja (KUPPG) pada strategi jangka pendek ke empat, tahun 2021-2026 agar setiap gereja lokal menyelengarakan satu unit usaha di bidang Pembangunan Ekonomi Gereja (PEG).

Fondasi Teologis
Pendeta Sarah mengungkapkan, seorang Teolog Reformed Jerman, Jürgen Moltmann melalui teologi trinitariannya menawarkan fondasi teologis yang kaya untuk membangun konsep kewirausahaan Kristen. Dalam karya monumental berjudul “The Trinity and the Kingdom of God,” Moltmann menggambarkan kehidupan Tritunggal sebagai sebuah komunitas kasih yang saling berbagi (perichoresis).
“Paradigma relasional ini memiliki implikasi mendalam bagi pemahaman tentang kewirausahaan, yang seharusnya tidak dilihat sebagai aktivitas individualistik melainkan praktik komunal yang tertanam dalam jaringan hubungan. Kewirausahaan dalam perspektif ini harus mencerminkan sifat saling tergantung dan saling membangun yang menjadi ciri kehidupan Ilahi,” kata Pendeta Sarah.
Lebih lanjut, menurut Pendeta Sarah, Moltmann dalam “Theology of Hope” menekankan dimensi eskatologis dari aktivitas manusia, termasuk kegiatan ekonomi. Kewirausahaan Kristen tidak boleh terjebak dalam logika profit semata, tetapi harus diarahkan pada visi kerajaan Allah yang akan datang.
“Ini berarti setiap inisiatif bisnis harus dinilai berdasarkan kontribusinya terhadap pembaruan ciptaan dan keadilan sosial, bukan semata-mata berdasarkan indikator finansial. Konsep ini menantang model kewirausahaan neoliberal yang sering kali mengabaikan dimensi etis dan sosial,” jelasnya.
Selanjutnya, kata Pendeta Sarah, Karl Marx yang bukan seorang pemikir Kristen, mengritik tajam sistem kapitalis dengan memberikan lensa kritis yang berharga untuk mengevaluasi praktik kewirausahaan kontemporer.
Dalam “Das Kapital,” Marx mengungkap bahwa mekanisme eksploitasi yang inheren dalam sistem kapitalis, di mana akumulasi modal sering kali dicapai melalui penindasan terhadap pekerja.
Analisis Marx tentang fetisisme komoditas dan alienasi tenaga kerja menjadi peringatan serius bagi kewirausahaan Kristen terhadap bahaya mendewakan profit dan mengabaikan martabat manusia.

Kewirausahaan Kristen
Mathias Moi, sebagai teolog dari Global South, menawarkan perspektif kontekstual tentang kewirausahaan Kristen.
Dalam tulisannya tentang teologi pembangunan, Moi menekankan pentingnya model bisnis yang berakar pada realitas lokal dan menjawab kebutuhan konkret masyarakat marginal. Kewirausahaan dalam perspektif ini bukanlah tentang mengejar keuntungan maksimal, tetapi tentang menciptakan solusi kreatif, inovatif untuk masalah-masalah kemiskinan, ketidakadilan, dan keterbelakangan.
Kewirausahaan dalam prespektif kristen memerlukan kemampuan manajerial diri dalam upaya menghadapi dan bahkan mengakomodasi berbagai perubahan yang ada, salah satunya disebutkan oleh Dhaniswara adalah kemampuan entrepreneurship.
Jeffry Timmons dan Stephen Spinelli menyatakan, kewirausahaan adalah jalan dari cara berpikir, bernalar dan bertindak yang terobsesi terhadap peluang, dengan pendekatan holistik dan keseimbangan kepemimpinan.
J.ChrisLeach and Ronal W. Melicher, mendefinisikan bahwa entrepreneurship adalah proses cara berpikir dengan ide-ide baru, melihat peluang-peluang baru dengan menciptakan nilai. Sementara seorang entrepreneur adalah individu yang berpikir, bernalar, dan aktif bertindak atau berperilaku untuk mengubah ide ke peluang ekonomi dengan menciptakan suatu nilai, baik akan berhasil atau gagal.
“Misi seorang entrepreneur adalah untuk melihat peluang ekonomi, lalu mengubahnya menjadi produk atau pelayanan yang bernilai dan menjawab kebutuhan di pasaran masyarakat luas,” kata Pendeta Sarah. (nov)