BRIEF.ID – Presiden Kelima RI Megawati Soekarnoputri mengatakan politik harus berorientasi pada peningkatan kualitas peradaban suatu bangsa.
Hal itu disampaikan Megawati dalam orasi ilmiah yang berjudul “Jalan Kebudayaan dan Titik Temu Peradaban” untuk penganugerahan gelar profesor kehormatan bidang pariwisata dan warisan budaya dari Silk Road International University of Tourism and Cultural Heritage (IUTCH), Uzbekistan.
“Dengan wataknya yang seperti ini, politik bertanggung jawab pada masa depan umat manusia sedunia,” kata Megawati melalui keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (21/9/2024).
Dia mengungkapkan dalam pemahaman terhadap peradaban umat manusia, dirinya diajarkan oleh Soekarno atau Bung Karno.
“Bagi saya pribadi, Bung Karno merupakan sosok ayah dan sekaligus guru. Beliau mengajarkan kepada saya bahwa politik itu kehidupan,” ujarnya.
Bung Karno juga mengajarkan bahwa rakyat adalah sumber kebudayaan. Makna sumber kebudayaan itu sangatlah luas. Manusia sebagai makhluk sosial menyatukan diri dalam komunitas sosialnya, dan membangun kebudayaan bersama, hingga lahirlah bangsa-bangsa.
Dalam komunitas bangsa itu tercipta suatu kehendak bersama, aturan hidup bersama, komitmen terhadap nilai yang disepakati, dan membangun moralitas kelompok, hingga sistem kehidupan berbangsa melalui tatanan hukum bernegara.
Menurut Megawati, kebudayaan adalah jalan peradaban umat manusia. Dengan menempatkan rakyat sebagai sumber kebudayaan, maka makna kekuasaan pemimpin juga berangkat dari keseluruhan kehendak kolektif rakyat yang dipimpinnya.
“Sekuat apa pun kekuasaan yang dimiliki pemimpin, tidak bisa dilepaskan dari kehendak kolektif rakyat yang membentuknya,” ujar Megawati.
Namun dalam praktiknya, kata Megawati, banyak pemimpin yang melepaskan diri dari hakekat power itu. Dan baginya, sekiranya pemimpin melepaskan diri dari ide atau gagasan yang membentuknya maka pemimpin itu kehilangan hakekat kekuasaannya dan hanya sekedar menjadi aktor.
“Sekiranya pemimpin melepaskan diri dari ide atau gagasan yang membentuknya maka pemimpin itu kehilangan hakikat kekuasaannya dan hanya sekedar menjadi aktor. Aktor inilah yang kemudian melakukan justifikasi terhadap kebijakan yang diambilnya,” tambahnya.
“Demi justifikasi, kuasa yang dimiliki aktor bisa memunculkan kekerasan termasuk menggunakan hukum guna mempertahankan kekuasaannya. Fenomena inilah yang melahirkan perubahan perilaku kekuasaan pemimpin,” pungkas dia.
No Comments