BRIEF.ID – Negara-negara anggota BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, ditambah anggota baru) semakin gencar mendorong pembentukan mata uang bersama berbasis emas sebagai alternatif sistem keuangan global yang selama ini didominasi dolar Amerika Serikat (AS). Inisiatif ini lahir dari keinginan kolektif untuk mengurangi ketergantungan pada dolar dalam perdagangan internasional, sekaligus memperkuat kedaulatan finansial negara anggota.
Menurut sejumlah pejabat, termasuk Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov, mata uang baru ini tidak dimaksudkan menggantikan dolar, melainkan menawarkan opsi transaksi lintas negara dengan dasar cadangan emas dan kerangka multi-mata uang. Target peluncuran optimistis diproyeksikan pada 2026.
“Alternatif yang sedang dibangun adalah sistem penyelesaian transaksi menggunakan mata uang nasional masing-masing anggota,” ujar Lavrov, dikutip dari Sindonews yang mengutip Watcher Guru, Minggu (31/8/2025).
Upaya ini dibarengi dengan pembangunan sistem keuangan modern. Bank Pembangunan Baru BRICS tengah merancang pusat pembayaran lintas batas senilai miliaran dolar. China melalui sistem CIPS telah menghubungkan hampir 5.000 lembaga keuangan global, sementara penggunaan teknologi blockchain memungkinkan penyelesaian transaksi hanya dalam tujuh detik.
Selain itu, bank sentral anggota BRICS mendorong pembelian emas langsung dari penambang domestik. Data World Gold Council menunjukkan 19 dari 36 bank sentral global sudah menerapkan skema ini. Bursa emas fisik di Shanghai bahkan meluncurkan perdagangan instan (T+0), yang mulai mempengaruhi harga global. Analis memperkirakan harga emas bisa menembus USD8.000 per ons jika tren ini berlanjut.
Potensi Dampak Global
Jika terwujud, mata uang BRICS memiliki sejumlah potensi yang dapat mempengaruhi peta moneter dunia. Salah satunya de-dolarisasi, yaitu menurunnya dominasi dolar AS sebagai cadangan devisa global. Hal ini seiring dengan tujuan utama kelahiran mata uang baru ini sebagai alat untuk memperkuat kemerdekaan keuangan dan menekan volatilitas dolar. Dua negara utama BRICS, yakni China dan Rusia sudah memulai langkah penggunaan mata uang domestik mereka dalam perdagangan antar negara. Rusia sendiri mengklaim 90% perdagangan BRICS kini sudah berlangsung tanpa dolar.
Dampak lainnya yang berpotensi muncul yaitu berakhirnya efektivitas sanksi AS. Dengan sistem pembayaran independen seperti BRICS Pay, dominasi sistem SWIFT bisa tereduksi, melemahkan pengaruh geopolitik Washington.
Selain itu, penggunaan luas mata uang BRICS juga memiliki potensi tekanan terhadap ekonomi AS. Hal ini mengingat penurunan permintaan dolar berisiko memicu inflasi impor dan krisis nilai tukar di negeri Paman Sam.
Hal ini kemudian memunculkan respon defensif dari AS. Pemerintahan Presiden Donald Trump telah mengancam tarif tinggi hingga 50% untuk negara yang mendukung kebijakan dedolarisasi.
Tidak kalah pentingnya, kehadiran mata uang BRICS juga berpotensi membuat sistem perdagangan global menjadi multipolar. Dengan adanya transaksi lintas negara BRICS yang berlangsung tanpa konversi dolar, hal ini mempercepat integrasi regional dan mengurangi biaya perdagangan.
Banyak analis menilai, jika berhasil, langkah ini bisa mendorong blok regional lain seperti ASEAN, Uni Afrika, atau Amerika Latin untuk mengembangkan instrumen serupa. Dunia diperkirakan bergerak menuju sistem moneter multipolar yang lebih seimbang dan terdiversifikasi, meski transisinya berpotensi memicu ketegangan geopolitik baru.
Tantangan Internal
Namun demikian, masih terdapat sejumlah tantangan yang dihadapi oleh para anggota BRICS untuk mengimplementasikan penggunaan mata uang blok tersebut. Perbedaan skala ekonomi antar anggota, potensi dominasi China, lemahnya konvertibilitas beberapa mata uang, serta sanksi Barat terhadap negara tertentu menimbulkan skeptisisme.
Berdasarkan catatan CNBC, setelah lebih dari satu dekade wacana, BRICS masih gagal membentuk sistem pembayaran lintas batas yang menjadi prasyarat mata uang tunggal. Selain itu, perdebatan soal pembagian biaya, keamanan sistem, dan integrasi bank sentral masih belum selesai.
Kondisi ini membuat sejumlah pihak menilai bahwa penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan lintas negara, yang saat ini gencar diperluas BRICS, lebih realistis ketimbang melahirkan mata uang bersama dalam waktu dekat. (ano)