BRIEF.ID – Fenomena dinasti politik sebenarnya hampir terjadi di semua negara. Hanya saja yang menjadi masalah ketika sebuah kebutuhan dinasti politik akhirnya merekayasa hukum yang berlaku.
Demikian dikatakan Calon Wakil Presiden (Cawapres) Nomor Urut 3, Mahfud MD menjawab pertanyaan mengenai Mahkamah Konstitusi (MK) yang pernah membatalkan tentang pasal dinasti politik saat gugatan atas Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan, Wali Kota, yang dikenal dengan UU Pilkada, pada acara “Tabrak Prof!” di Benyo Kopi, Lampung, Kamis (25/1/2024).
“Yang jadi masalah kalau untuk memenuhi kebutuhan dinasti politik itu, melakukan rekayasa hukum terhadap hukum yang berlaku, sehingga yang tidak boleh dilakukan, lalu dilakukan menggunakan pendekatan-pendekatan yang kasar,” katanya.
Mahfud menambahkan, saat uji materil UU Pilkada, dirinya sudah tidak menjabat sebagai Ketua MK. Saat itu Ketua MK dijabat oleh Patrialis Akbar. Adakalanya, lanjut dia, dinasti politik itu tidak lagi menjadi objektif untuk kepentingan rakyat.
Dijelaskannya, kemudian muncul langkah-langkah seorang yang menjadi induk dari dinasti politik, untuk memenangkan dinastinya sendiri.
“Itu yang tidak boleh, dan itu sebenarnya jorok kalau dilakukan oleh pemerintah sebesar negara kesatuan Republik Indonesia ini,” paparnya.
Pada sidang uji materil UU Pilkada 2015 silam, yakni Pasal 7 huruf r yang terkait dengan syarat yang melarang bakal calon kepala daerah memiliki hubungan darah/perkawinan dengan petahana.
Menurut MK, pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28 i ayat (2) UUD 1945. Selain itu, MK melihat Pasal 7 huruf r juga memicu rumusan norma baru yang tidak dapat digunakan karena tidak memiliki kepastian hukum. Dilegalkannya seseorang yang memiliki hubungan darah/perkawinan dengan kepala daerah dapat membuat politik dinasti.
Namun, hal itu tidak dapat dijadikan alasan. Lantaran ada UUD yang mengatur supaya tidak terjadi diskriminasi, apabila dipaksakan justru terjadi inkonsistusional.
Dalam pasal 7 dijelaskan cara menjadi pemimpin daerah itu seseorang yang mempunyai hubungan darah atau konflik kepentingan dengan petahana tidak diperbolehkan maju menjadi pemimpin daerah.
Ada pun yang dimaksud ‘tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana’ adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan.
No Comments