BRIEF.ID – Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Johannesburg, Afrika Selatan, Sabtu (22/11/2025), sepakat mengadopsi sebuah deklarasi, yang menegaskan sentralitas Piagam PBB sebagai landasan penyelesaian konflik secara damai. Deklarasi itu secara bulat diadopsi pada pembukaan KTT.
Konflik yang disebut secara spesifik dalam deklarasi, termasuk DR Kongo (DRC), Sudan, Ukraina, dan Palestina. Selain itu, pembangunan Afrika, termasuk dorongan untuk arsitektur keuangan internasional yang lebih adil dan akses pembiayaan jangka panjang untuk negara berkembang.
Juru Bicara Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa, Vincent Magwenya mengatakan, deklarasi tersebut tidak dapat dinegosiasikan ulang.
”Kami telah bekerja keras selama setahun penuh untuk mencapai adopsi ini dan proses seminggu terakhir berjalan cukup intens,” kata Magwenya dikutip dari Kompas.id, Minggu (23/11/2025).
Ia menambahkan deklarasi itu diadopsi dengan suara bulat oleh anggota G20 yang hadir dalam pembukaan KTT.
”Biasanya adopsi deklarasi terjadi tepat di akhir. Namun, ada perasaan bahwa kita seharusnya bergerak agar deklarasi KTT diadopsi terlebih dahulu sebagai prioritas utama,” ujar Magwenya.
Sebelumnya, Presiden Ramaphosa mengatakan, ada ”konsensus yang sangat kuat” untuk lahirnya deklarasi itu. Para diplomat G20 secara intensif membahas rancangan deklarasi tersebut pada Jumat lalu, tanpa keterlibatan AS.
Deklarasi itu, antara lain menekankan keseriusan para negara anggota untuk memperhatikan isu perubahan iklim, perlunya adaptasi yang lebih baik, serta memuji target ambisius untuk meningkatkan energi terbarukan. Selain itu, deklarasi itu juga mengakomodasi catatan tentang tingkat utang yang sangat berat yang saat ini membebani negara-negara miskin.
Menyikapi situasi tersebut, seorang pejabat Gedung Putih menilainya sebagai langkah yang memalukan, terlebih dokumen itu dirancang tanpa masukan AS. Tahun depan, AS akan mengampu presidensi G20 2026.
Dengan mengakomodasi isu perubahan iklim, deklarasi itu dinilai mengabaikan sikap Presiden AS Donald Trump. Ia meragukan konsensus ilmiah bahwa pemanasan global disebabkan oleh aktivitas manusia. Sikap tersebut diikuti oleh para pejabat AS yang mengindikasikan bahwa mereka pun menentang diksi apa pun terkait isu tersebut dalam deklarasi.
Sejak awal presidensi G20 Afrika Selatan, posisi AS di era Trump cenderung berseberangan. Selain menolak agenda yang diajukan Afsel, seperti kesetaraan, perubahan iklim, transisi energi, dan pemangkasan utang negara miskin, Trump juga menuduh Pemerintah Afrika Selatan bersikap diskriminatif terhadap warga kulit putih negeri itu. Tuduhan itu berulang kali dibantah.
Perbedaan sikap dan perseteruan itu membuat Washington, sejak awal presidensi Afrika Selatan di G20, memilih untuk tidak terlibat dalam banyak pertemuan. Bahkan, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio juga memilih tidak hadir dalam pertemuan para menlu G20 pada Februari lalu. Padahal, pertemuan menlu G20 adalah salah satu pertemuan utama dalam rangkaian KTT G20.
Kala itu Rubio mengatakan enggan menyia-nyiakan uang mereka untuk membahas isu-isu tentang keberagaman, kesetaraan, inklusi, dan perubahan iklim.
Menanggapi sikap AS, Ramaphosa menegaskan, ”Afrika Selatan tidak akan terganggu.” Ia bahkan yakin deklarasi akan dicapai bersama dengan semua anggota G20 yang memilih hadir. Keyakinan tersebut akhirnya terwujud.
Pernyataannya saat pembukaan KTT mencerminkan hal itu. Ramaphosa mengatakan, ”Telah terdapat konsensus dan kesepakatan yang sangat kuat bahwa salah satu tugas lain yang harus kita lakukan sejak awal adalah mengadopsi deklarasi kita.” (nov)


