BRIEF.ID – Separuh abad perjalanan pembangunan ekonomi menunjukkan dua jalan berbeda dari Indonesia dan Korea Selatan, dua negara berusia 80 tahun dengan tanggal kemerdekaan yang hanya terpaut dua hari.
Korea Selatan melesat ke status negara maju berkat insentif yang berorientasi ekspor dan inovasi, sementara Indonesia masih berkutat dalam praktik rente yang melemahkan daya saing industri.
Laksamana Sukardi, Menteri BUMN pada era Presiden Abdurahman Wahid, mengemukakan dua jalan yang berbeda dalam 50 tahun pembangunan ekonomi kedua negara.
Pada awal 1970-an, Indonesia di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto dan Korea Selatan di bawah Jenderal Park Chung Hee memulai pembangunan ekonomi dengan strategi serupa, yaitu memberikan insentif dan kemudahan bagi kelompok pengusaha besar atau konglomerat. Namun, perbedaan syarat dan arah kebijakan membuat hasil yang dicapai kedua negara berbeda jauh setelah lebih dari lima dekade.
Di Negeri Ginseng, insentif yang diberikan kepada kelompok konglomerat atau chaebol tidak datang tanpa syarat. Pemerintah Korea Selatan menautkannya dengan kewajiban mencapai target ekspor yang tinggi, terutama untuk produk manufaktur berbasis inovasi seperti elektronik, semikonduktor, hingga teknologi otomotif.
Strategi ini membuahkan hasil. Perusahaan raksasa Korea seperti Samsung, LG, Hyundai, SK Group, dan POSCO berhasil menembus pasar internasional dengan produk berteknologi tinggi. Tak hanya itu, sektor budaya juga menjadi motor ekspor. Drama Korea (drakor) dan musik K-Pop mampu mendunia hingga ke Hollywood, termasuk Indonesia.
Dampak kebijakan ini sangat signifikan. Pada 2023, pendapatan per kapita Korea Selatan melampaui US$35.000, menempatkan negara itu di kategori negara maju. Lima chaebol terbesar bahkan mencatatkan pendapatan Rp9.180 triliun (US$55,4 miliar) pada 2024, dengan 78% di antaranya berasal dari ekspor. Produk Samsung menguasai 20% pangsa pasar ponsel global, sementara bersama LG, mereka meraih 44,3% pangsa pasar global smart TV, menggeser dominasi Sony Jepang yang tinggal 5,4%.
Indonesia: Insentif tanpa Inovasi
Berbeda dengan Korea, Indonesia menerapkan kebijakan insentif ekonomi dalam bentuk konsesi sumber daya alam, akses kredit murah, lisensi perbankan, hingga monopoli dagang. Namun, insentif ini lebih banyak diberikan berdasarkan kedekatan politik atau pola patron-client, yang kemudian melahirkan pengusaha berkarakter “pemburu rente”.
Istilah rent seeking pertama kali dikemukakan oleh Gordon Tullock (1967) dan dikembangkan Anne Krueger (1974). Dalam konteks Indonesia, praktik ini berarti pengusaha mencari keuntungan lewat kedekatan politik untuk memengaruhi aturan, regulasi, hingga tarif, bukan melalui persaingan pasar yang sehat.
Konsekuensinya, kedekatan politik menjadi “komoditas fiktif” yang diperdagangkan, menciptakan rantai ekonomi biaya tinggi (high-cost economy) dan menurunkan daya saing produk Indonesia. Hal ini membawa dampak destruktif seperti pelarian modal ke luar negeri melalui transfer pricing, pembagian keuntungan sumber daya alam yang tidak adil, penegakan hukum yang selektif sehingga melemahkan iklim investasi, kesenjangan ekonomi yang lebar, serta salah alokasi modal dan sumber daya yang menghambat produktivitas.
Akibatnya, mayoritas orang kaya Indonesia lahir dari konsesi sumber daya alam, monopoli dagang, atau praktik ilegal seperti tambang liar, pencurian ikan, judi, hingga penyelundupan. Hanya sedikit yang berasal dari inovasi teknologi atau industri ekspor berbasis brainware.
Ekspor Indonesia pun didominasi komoditas sumber daya alam, sementara kontribusi terbesar pertumbuhan ekonomi datang dari konsumsi domestik yang mencapai 50% Produk Domestik Bruto (PDB), dengan konsumen utama justru para “pemburu rente”. Pola pertumbuhan ini rapuh dan terbukti rentan, sebagaimana krisis ekonomi 1998 yang menimbulkan kerusakan besar.
Dua Jalan, Dua Nasib
Selama lebih dari 50 tahun, arah kebijakan yang ditempuh Korea Selatan dan Indonesia menghasilkan jurang perbedaan yang nyata. Korea Selatan berhasil melakukan quantum leap menuju kesejahteraan berkat insentif yang dikaitkan dengan disiplin ekspor dan inovasi. Sebaliknya, Indonesia masih terjebak dalam lingkaran insentif berbasis rente yang menghambat kemajuan.
Kini, ketika Korea Selatan menempatkan dirinya sebagai negara maju dengan industri global yang kompetitif, Indonesia masih berjuang untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap).
Pertanyaan besar pun muncul tentang prospek warisan Indonesia kepada generasi selanjutnya, apakah keberlanjutan ekonomi berbasis inovasi atau justru stagnasi akibat jeratan rente.
“Pertanyaan yang harus kita jawab Bersama, apa yang akan kita wariskan kepada generasi baru Indonesia 50 tahun yang akan datang?” tutupnya. (ano)