BRIEF.ID – Industri tekstil nasional berada dalam kondisi yang kian sulit dan terus melemah geliatnya. Terjadi penurunan produksi, penyusutan penjualan, serta dalam bayang-bayang pemutusan hubungan kerja (PHK). Dibutuhkan intervensi pemerintah untuk menghentikan tren PHK sekaligus memulihkan kembali sektor industri sandang.
Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia kini di ambang keterpurukan. Melemahnya pasar ekspor, disertai gempuran produk tekstil impor ke pasar domestik membuat pelaku industri sandang mulai dari hulu hingga hilir kian terimpit. Ujungnya, industri TPT yang terpuruk telah memicu pemutusan hubungan kerja hingga ribuan pekerja.
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyatakan, selama Januari-Mei 2024, kurang lebih 20-30 pabrik berhenti beroperasi dengan mem-PHK pekerja hingga mencapai 10.800 orang. Angka itu melanjutkan gelombang PHK sepanjang 2023 yang tercatat mencapai 7.200 pekerja di sentra industri TPT di wilayah Bandung dan Surakarta. Jumlah ini diyakini lebih tinggi karena ada pekerja yang tidak melapor saat terkena PHK.
Tak hanya itu, pada awal Juni 2024 lalu sebanyak 6 pabrik menutup operasinya. Rinciannya, terdiri atas PT S Dupantex di Jawa Tengah yang melakukan PHK pada 700 pekerja; PT Alenatex di Jawa Barat sebanyak 700 pekerja ter-PHK; PT Kusumahadi Santosa di Jateng menghentikan 500 pekerja; PT Kusumaputra Santosa di Jateng memutus 400 pekerja; PT Pamor Spinning Mills di Jateng menghentikan 700 orang; dan PT Sai Apparel di Jateng mem-PHK 8.000 orang.
Sementara itu, ada juga pabrik tekstil yang melakukan efisiensi karyawan. Beberapa pabrik yang masih berjalan, tapi memangkas karyawannya pada awal tahun ini. Salah satunya PT Sinar Panca Jaya di Semarang dengan jumlah PHK hingga awal Juni 2024 tembus 2.000 orang. Ada pula PT Bitratex di Semarang telah memutus sekitar 400 pekerja; PT Johartex di Magelang juga melakukan PHK 300-an orang; dan PT Pulomas, Bandung dengan PHK 100-an orang.
Multiplier Effect
Dampak PHK tentunya menimbulkan multiplier effect yang semakin besar. Selain bisa meningkatkan angka pengangguran terbuka di Indonesia, banyaknya PHK juga bisa berdampak pada masalah sosial seperti kemiskinan dan meningkatnya angka kriminalitas.
Padahal, industri TPT merupakan sektor padat karya dengan menyerap tenaga kerja lebih dari 3,98 juta orang. Selain itu, juga memberikan kontribusi sebesar 19,47% bagi total tenaga kerja di sektor industri manufaktur pada tahun 2023.
Pada kuartal I-2024, industri TPT berkontribusi sebesar 5,84% terhadap produk domestik bruto (PDB) sektor manufaktur serta memberikan andil terhadap ekspor nasional sebesar US$ 11,6 miliar dengan surplus mencapai US$ 3,2 miliar.
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) membeberkan sederet penyebab puluhan pabrik tekstil nasional tutup hingga menyebabkan PHK massal. Ada sejumlah faktor global dan domestik yang menyertai fenomena itu.
Dari sisi global, salah satunya disebabkan oleh penurunan permintaan dunia yang dipicu oleh ketidakstabilan geopolitik dan kenaikan biaya ekspor. Krisis di Eropa akibat perang Rusia-Ukraina juga turut memengaruhi daya beli global, dengan prioritas konsumsi saat ini beralih dari produk tekstil ke kebutuhan esensial seperti halnya energi. Hal ini berimbas pada turunnya permintaan produk tekstil Indonesia di pasar ekspor.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan nilai ekspor tekstil dan produk tekstil dari Indonesia mengalami penurunan pada periode Januari-Mei 2024. Secara kumulatif pada periode Januari-Mei 2024 komoditas tekstil mengalami penurunan nilai ekspor sebesar 0,80% jika dibandingkan dengan periode yang sama sebelumnya.
Selain itu, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi industri TPT Indonesia adalah persaingan dengan negara produsen TPT asing lainnya seperti Tiongkok, India, dan Vietnam. Negara-negara tersebut memiliki biaya produksi yang lebih rendah dan dapat memproduksi produk tekstil dengan harga yang lebih murah dibandingkan Indonesia.
Dari dalam negeri, salah satu faktor yang memperburuk kondisi adalah banjirnya produk impor, baik yang legal maupun ilegal. Banjirnya impor di pasar domestik ini diakibatkan oleh kebijakan yang memungkinkan produk impor-yang sejatinya ditujukan untuk ekspor-dijual di pasar lokal hingga 50% dari total produksi.
Peraturan Menteri Keuangan No. 131/2018 tentang Kawasan Berikat menjadi acapkali disebut sebagai salah satu penyebab utama peningkatan pasokan produk impor di pasar domestik.
Sebagian kalangan industri tekstil dan pakaian juga menganggap Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8/2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor sebagai pemicu kenaikan impor yang berdampak rontoknya industri tekstil dan produk tekstil dalam negeri. Aturan ini dianggap merugikan industri sektor industri TPT dan sejauh ini pemerintah belum berencana merevisinya.
Ketua API, Jemmy Kartiwa Sastraatmaja pernah menyebutkan, Permendag 8/2024 lebih berpihak pada importir umum karena sudah tidak ada lagi aturan pertimbangan teknis (pertek) yang menjadi kewenangan Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Padahal, pertek ini bertujuan mengontrol arus masuk barang barang impor. Dengan tidak adanya pertek, maka barang impor tidak terkendali, dan menghancurkan industri dalam negeri.
Permendag No. 8/2024 memuat relaksasi perizinan impor sejumlah komoditas termasuk tekstil dan produk tekstil dinilai memperburuk situasi. Data perdagangan yang dihimpun dari Badan Pusat Statistik menunjukkan tren impor pakaian atau produk tekstil jadi meningkat.
Impor pakaian mencapai puncaknya pada 2021 sebelum tertahan selama 2023 hingga kuartal I 2024. Tren tersebut terlihat pada impor komoditas dengan kode harmonized system (HS) 60 (kain rajutan atau kain kaitan), kode HS 61 (pakaian dan aksesori pakaian rajutan atau kaitan), kode 62 (pakaian dan aksesori pakaian bukan rajutan atau kaitan), serta kode HS 63 (barang tekstil sudah jadi lainnya dan pakaian bekas).
Pada tahun 2015, nilai impor komoditas tersebut hanya sebesar US$ 1,83 miliar. Nilai impor produk-produk itu terus meningkat hingga menjadi US$ 2,614 miliar pada 2019. Sempat turun pada 2020 menjadi US$ 2,33 miliar, impor pakaian kembali melejit menjadi US$ 2,957 miliar pada 2021 dan US$ 2,761 miliar pada 2022.
Sedangkan pada tahun 2023, nilai impor tertahan menjadi US$ 2,212 miliar. Begitu pula hingga April 2024 hanya mencatatkan nilai 713,98 juta. Dengan adanya relaksasi impor dalam Permendag No. 8/2024 dikhawatirkan mendorong kembali banjir impor seperti pada kurun 2021 dan 2022.
Respons Pemerintah
Pada rapat kerja dengan DPD RI soal rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyebutkan, terpuruknya industri tekstil dalam negeri disebabkan oleh kelebihan kapasitas serta praktik politik dumping negara lain. Imbasnya, barang-barang impor dengan harga murah membanjiri pasar dalam negeri.
Sementara itu, merespons maraknya PHK yang terjadi di industri tekstil dan produk tekstil (TPT), Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita Agus mengatakan, penyebab gelombang PHK ini disebabkan salah satunya persaingan global yang kian ketat dan munculnya praktik dumping dari negara produsen. Terhadap persaingan global, Kemenperin terus berupaya untuk memperluas pasar dengan mempertahankan kualitas hasil produksi.
Agus juga mengatakan, untuk menjaga produktivitas dan daya saing industri TPT di dalam negeri, Kemenperin terus berupaya memastikan ketersediaan bahan baku dan/atau bahan penolong dan meningkatkan kemampuan sumber daya manusia industri. Selain itu, juga mengimplementasikan Making Indonesia 4.0 pada sektor TPT, melanjutkan program pemulihan bagi industri TPT, serta promosi dan peningkatan permintaan dalam negeri melalui kampanye Bangga Buatan Indonesia.
Dengan beragam kebijakan itu, diharapkan tren PHK di industri TPT bisa dihentikan. Kerja sama antarsektor pemerintahan, industri, dan komunitas bisnis lokal bisa menjadi kunci dalam menavigasi masa sulit ini. Dengan mengimplementasikan kebijakan yang proaktif dan mendukung inovasi serta adaptasi industri, Indonesia dapat mengharapkan pemulihan dan pertumbuhan yang berkelanjutan di sektor tekstil. (Kompas.id)
No Comments