BRIEF.ID – Kementerian Pertanian memperkirakan Indonesia berpotensi kehilangan hingga Rp50 triliun per tahun dari ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) ke eropa.
Hal itu, terkait regulasi antideforestasi Uni Eropa atau European Union Deforestation Regulation (EUDR), yang antara lain mengatur tentang produk CPO yang dihasilkan dari kebun kelapa sawit yang tidak merusak atau menebang hutan.
Menurut Ketua Tim Kerja Pemasaran Internasional Direktorat Jenderal Perkebunan Kementan, Muhammad Fauzan Ridha, UNI Eropa diperkirakan akan mengalihkan impor CPO dari Indonesia ke Malaysia. Hal itu disebabkan produksi dan pengelolaa CPO di Malaysia sudah mengacu pada ketentuan EUDR.
“Indonesia akan kehilangan pasar Uni Eropa, dan pada saat yang sama, Uni Eropa diperkirakan akan mengalihkan kebutuhan minyak sawit mereka ke Malaysia,” kata Fauzan, dalam diskusi publik Indef di Jakarta, Rabu (22/10/2024).
Fauzan mengatakan, Indonesia menjadi pengekspor CPO terbesar ke-4 di Eropa dan kontribusinya mencapai sekitar 10%. Dengan demikian, EUDR berpotensi mengurangi pendapatan Indonesia dari ekspor CPO. Padahal, ekspor CPO berkontribusi besar bagi pendapatan negara melebihi sektor minyak dan gas bumi (migas).
Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor kelapa sawit pada 2023 mencapai US$25,61 miliar. Kelapa sawit juga berkontribusi 10,2 terhadap total nilai ekspor nasional, melampaui kontribusi sektor migas.
“Jika akses pasar sawit Indonesia ke Eropa terhambat, maka neraca perdagangan pertanian negara akan mengalami defisit signifikan, karena komoditas sawit berkontribusi sebesar 75,8% terhadap total nilai ekspor komoditas perkebunan,” ujar Fauzan.
Dia menjelaskan, pemberlakuan EUDR juga akan mengganggu penyerapan produksi kelapa sawit dari petani kecil, yang menguasai 41,3% areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Hal itu, juga akan berdampak pada penyerapan produksi minyak sawit nasional. Kementan mencatat total produksi minyak sawit nasional pada 2023 mencapai 51,98 juta ton.
Aturan baru dari Uni Eropa ini, lanjutnya, juga berpotensi mengancam keberlangsungan lapangan kerja di sektor perkebunan. Kementan mencatat terdapat 5,5 juta tenaga kerja langsung dan 17 juta tenaga kerja tidak langsung yang terlibat dalam industri kelapa sawit.
“Para pekerja langsung dan tidak langsung di sektor ini akan terdampak jika penyerapan produk sawitnya terganggu akses pasarnya,” ungkap Fauzan.
Sebagai informasi, Uni Eropa telah mengumumkan penundaan penerapan EUDR yang semula 30 Desember 2024 ke tahun depan. Keputusan ini memberikan waktu tambahan bagi negara-negara produsen sawit, termasuk Indonesia untuk lebih mempersiapkan diri dalam memenuhi standar keberlanjutan yang ditetapkan oleh regulasi tersebut.
No Comments