BRIEF.ID — Kondisi kelas menengah di Indonesia menunjukkan tren penurunan dalam beberapa tahun terakhir, mencerminkan kian lebarnya jurang ketimpangan ekonomi dan menurunnya daya beli masyarakat.
Berdasarkan data perbankan nasional per Juli 2025, sebanyak 98,8 persen dari total 643,8 juta rekening bank di Indonesia memiliki saldo di bawah Rp100 juta, dengan nilai total hanya mencapai 13 persen dari keseluruhan nominal simpanan nasional.
Artinya, 1,2 persen rekening dengan saldo di atas Rp100 juta menguasai 87 persen total dana perbankan nasional, menandakan tingkat konsentrasi kekayaan yang tinggi di tangan kelompok kecil masyarakat. Rata-rata saldo rekening di bawah Rp100 juta pun hanya sekitar Rp1,4 juta, turun signifikan dari Rp3,09 juta pada 2018.
Penurunan ini menjadi indikasi bahwa sebagian besar masyarakat berpendapatan menengah mengalami tekanan ekonomi yang cukup berat dalam beberapa tahun terakhir.
“Dari data perbankan tersebut, kelas menengah terus tergerus dan surut, sehingga pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan semakin sulit tercapai,” ujar ekonom Laksamana Sukardi, seperti dikutip dari tulisannya berjudul Kelas Menengah: I Can Feel Your Pain!
Kelas menengah memiliki peran penting dalam menopang stabilitas dan kesejahteraan negara. Kelompok ini menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi, pengurang kemiskinan, sekaligus penopang stabilitas sosial-politik.
Menurut laporan World Bank Global Middle Class Report (2019), semakin besar proporsi kelas menengah, semakin aman dan sejahtera suatu negara karena mereka mendorong peningkatan konsumsi domestik, memperbaiki kualitas sumber daya manusia, dan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang merata.
Sebaliknya, semakin kecil dan lemah kelas menengah, semakin dalam jurang kemiskinan dan semakin tinggi potensi ketidakstabilan sosial.
Hingga kini belum ada standar baku dalam menentukan batas kelas menengah. Di negara maju seperti Amerika Serikat, kelompok ini biasanya memiliki pendapatan tahunan antara US$50.000–US$150.000 atau sekitar Rp830 juta–Rp2,5 miliar per tahun. Sementara di Indonesia, kisarannya jauh lebih rendah, yakni Rp60 juta–Rp200 juta per tahun.
Bank Pembangunan Asia (ADB) bahkan mengukur kelas menengah berdasarkan pengeluaran harian sebesar US$2–US$20 per orang, atau sekitar Rp38.000–Rp380.000.
Namun di negara berkembang, termasuk Indonesia, pengukuran berbasis pendapatan seringkali sulit dilakukan karena data finansial yang belum akurat. Sebagai gantinya, status sosial seperti profesi, pendidikan, kepemilikan rumah, kendaraan, dan jaminan kesehatan sering dijadikan acuan.
Secara global, kelompok kelas menengah dikenal sebagai penabung dan pengguna jasa perbankan terbesar, karena memiliki pendapatan tetap, menjalankan usaha kecil menengah (UKM), dan memiliki dana pensiun.
Namun, kondisi data perbankan di Indonesia justru menunjukkan bahwa kekuatan ekonomi kelompok ini semakin melemah. Penurunan rata-rata saldo rekening menandakan berkurangnya kapasitas menabung dan meningkatnya tekanan biaya hidup di kalangan masyarakat menengah.
Laksamana Sukardi menegaskan, pemerintah perlu menunjukkan empati dan keberpihakan yang nyata terhadap kelompok menengah, mengingat perannya yang vital bagi stabilitas ekonomi nasional.
“Sudah waktunya pemerintah memberikan porsi keuntungan ekonomis yang lebih besar dari hasil pengelolaan sumber daya alam kepada negara ketimbang pengusaha, agar hasilnya dapat dinikmati oleh kelas menengah dan miskin,” ujarnya.
Ia menambahkan, tanpa keberpihakan dan empati dari para pemimpin, kelas menengah akan terus tertekan dan perlahan hilang. “Kelas menengah akan semakin surut jika para pemimpin sudah mati rasa,” tegasnya.
Tren pelemahan kelas menengah ini juga menjadi tantangan besar bagi pemerintah dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Ketimpangan ekonomi yang melebar bukan hanya memperlambat perputaran ekonomi domestik, tetapi juga berpotensi menimbulkan ketegangan sosial di masa depan.
Pemerintah diharapkan memperkuat kebijakan redistribusi ekonomi, memperluas akses pendidikan dan pembiayaan, serta mengembangkan sektor produktif agar kelompok menengah dapat kembali tumbuh dan menjadi tulang punggung pembangunan nasional. (ano)