BRIEF.ID – Kebijakan fiskal pemerintah di tahun 2025 dinilai semakin membebani dan justru mendorong masyarakat kelas menengah jatuh miskin. Hal itu, terutama terkait rencana kenaikan PPN menjadi 12% dan potensi kenaikan harga BBM dan Tarif Premi BPJS Kesehatan.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Muhammad Faisal, mengatakan arah kebijakan fiskal pemerintah di tahun 2015 belum terlihat mendukung peningkatan income dan spending masyarakat, khususnya di kelas menengah yang menghadapi tekanan bahkan penurunan tajam sejak pandemi Covid-19.
Menurut Faisal, masyarakat kelas menengah di Indonesia menghadapi tekanan sekitar 80% sejak pandemi Covid-19, sehingga jumlahnya terus menurun dan sulit pulih kembali ke masa sebelum pandemi akibat kebijakan fiskal yang membebani kelas ini.
Dia memaparkan, jumlah masyarakat kelas menengah mengalami penurunan dari 60 juta jiwa pada 2018 menjadi 56 juta jiwa pada 2021, dan terus turun menjadi 52 juta jiwa pada 2023.
Penurunan jumlah masyarakat kelas menengah terutama disebabkan kenaikan beban pengeluaran tidak seimbang dengan pendapatan. Hal itu, berimbas pada belanja konsumsi yang menurun padahal menjadi kontributor terbesar pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Rata-rata pertumbuhan konsumsi masyakat hingga triwulan III 2024 adalah 4,92%, turun dari 4,94% pada triwulan III 2023, dan 5,07% pada triwulan III 2019.
Tak hanya itu, proporsi tabungan masyarakat kelas menengah juga mengalami penurunan signifikan dari Rp3 juta pada 2019 menjadi sekitar Rp1,8 juta pada 2024.
“Sebaliknya terjadi penurunan saldo pinjaman, makanya pengambilan pinjaman di fintech (financial technology) meningkat, dan ini juga banyak terjadi di kelas menengah,” kata Faisal, dalam acara CORE Economy Outlook 2025, pada Sabtu (23/11/2024).
Dia mengungkapkan, tahun 2025 seharusnya menjadi tahun lompatan ekonomi. Meski demikian, belum terlihat perubahan kebijakan yang dapat mendorong pendapatan dan belanja masyarakat, khususnya kelas menengah.
Sebaliknya, lanjut Faisal, arah kebijakan fiskal pemerintah lebih banyak menahan peningkatan daya beli dan belanja kelas menengah. Beberapa kebijakan fiskal yang menekan kelas menengah, antara lain kenaikan PPN menjadi 12% per 1 Januari 2025, potensi kenaikan harga BBM, dan kenaikan tarof premi BJS Kesehatan.
“Dengan situasi ini, perlambatan belanja rumah tangga masih akan terjadi di 2025. Penurunan jumlah masyarakat kelas menengah juga masih akan terjadi, padahal mereka telah menghadapi tekanan sekitar 80% sejak pandemi Covid-19, dan sulit pulih ke masa sblm pandemi,” Faisal.
Turun Kasta
Pernyataan serupa juga disampaikan Budi Frensidy, CPA Staf Pengajar Departemen Akuntansi UI. Menurut dia, PPN 12% yang akan diterapkan per 1 Januari 2025 akan memaksa kelas menengah turun kasta menjadi miskin.
Dia menjelaskan, jumlah masyarakat kelas menengah yang pengeluaran bulanannya antara Rp2 juta hingga Rp9,9 juta turun dari 57,3 juta orang (21,5%) di tahun 2019 menjadi 47,9 juta pada Maret 2024 (17,1%).
“Kenaikan PPN dari 10% menjadi 11% sejak April 2022 saja masih terasa berat. Toko dan pabrik banyak yang tutup, sehingga PHK terjadi di mana-mana. Rata-rata tabungan rumah tangga turun 6,3% per Juli 2024.
Budi mengungkapkan, ada risiko lain dari pemberlakuan PPN 12%, yakni mengancam konsumsi nasional turun drastis atau anjlok dari kisaran 57% dari PDB pada saat ini.
Pasalnya kenaikan PPN menjadi 12% yang tidak diimbangi dengan kenaikan pendapatan akan menguras penghasilan kelas menengah, apalagi tren kenaikan harga juga masih akan berlanjut seiring ketidakpastian global dan ancaman perang dagang dari kebijakan ekonomi Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump.
“Jadi masyarakat kelas menengah terpaksa turun kasta menjadi miskin akibat kenaikan harga barang, an kenaikan beban pajak serta tarif lainnya, yang tidak diimbangi dengan kenaikan pendapatan,” ungkap Budi.
Dia menambahkan, kenaikan tarif PPN sebagai pajak pusat dan tidak langsung akan lebih memberatkan masyarakat menengah dan bawah yang selama ini sudah banyak yang terpaksa makan tabungan alias mantab.
​Budi menyampaikan, daripada menggenjot PPN yang kurang berpihak kepada kelas menengah dan bawah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, sebaiknya menerapkan kebijakan fiskal yang justru lebih berpotensi meningkatkan ratio pajak, seperti PPh Badan.
“Daripada menggenjot PPN yang kurang berpihak kepada kelas menengah dan bawah, Menkeu sebaiknya mengembalikan tarif PPh badan ke 25%,” ujar Budi.
Selain itu, pemerintah juga dapat menaikkan tarif progresif PPh pribadi menjadi 45% atau 50% untuk penghasilan belasan hingga puluhan miliar setahun.
Dia menambahkan, kebijakan fiskal pemerintah juga masih berpihak pada kelas atas, salah satunya rencana tax amnesty yang hanya akan dinikmati kalangan atas dan mencederai rasa keadilan wajib pajak dari kelas menengah yang umumnya sudah patuh.
“Program Pengukapan Sukarela (PPS) di semester pertama 2022 ternyata hanya menaikkan rasio pajak 0,3%. Belajarlah dari India yang sudah 8 kali tax amnesty namun tingkat kepatuhan pajak masih rendah, makanya PPh badan kembali dinaikkan,” tutur Budi.