BRIEF.ID – Indonesia merupakan salah satu negara penghasil terbesar emisi gas rumah kaca (GRK) di dunia, setelah Tiongkok, Amerika Serikat, India, Uni Eropa, Rusia, dan Brasil.
Alih fungsi lahan dan deforestasi yang mencapai ~40% dari total emisi nasional, dominasi penggunaan batubara, dan ketergantungan pada energi fosil disebut-sebut sebagai penyebab tingginya emisi. Bahkan, pembangkit listrik batubara, yang berkontribusi sekitar 62% untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional telah menghasilkan emisi tinggi.
Situasi memprihatinkan ini mendesak Indonesia melakukan langkah-langkah nyata untuk menurunkan emisi hingga 43,2% dari skenario business-as-usual (BAU) pada 2030 mendatang, serta menargetkan Net Zero Emission (NZE) di tahun 2060 atau lebih cepat, sebagaimana tercantum pada enhanced Nationally Determined Contribution (NDC).
“Indonesia membutuhkan sekitar US$ 322,86 miliar untuk aksi mitigasi, termasuk dana yang dialokasikan untuk mempercepat transisi energi hijau,” kata anggota Dewan Pembina Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) Luky Agung Yusgiantoro, saat berbicara pada PYC Talks di The Purnomo Yusgiantoro Center, Jakarta, Sabtu (26/7/2025).
Luky mengungkapkan, pembiayaan iklim memainkan peran cukup signifikan dalam membuka akses permodalan bagi proyek-proyek energi bersih, menjembatani kesenjangan pendanaan, dan mengurangi risiko investasi pada infrastruktur rendah karbon.
Sebagai respons terhadap lanskap yang terus berkembang, lanjut Luky, PYC mengadakan kegiatan PYC Talks berkolaborasi dengan University of Waterloo dalam FINCAPES Project, serta menjadi bagian dari praacara konferensi dwitahunan PYC, International Energy Conference (IEC) 2025.
Pembicara lainnya pada PYC Talks yang mengusung tema “Masa Depan Pendanaan Iklim untuk Transisi Energi di Indonesia,” adalah Ekonom Senior Bank Indonesia (BI) Arnita Rishanty PhD, Kepala Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia Paul Butarbutar MBA,
Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Yudha Permana Jayadikarta, dan Dewan Pengawas PYC Inka B. Yusgiantoro PhD.
Acara yang dimoderatori peneliti PYC Vivid Amalia Khusna, bertujuan untuk berbagi pengetahuan serta memperdalam pemahaman publik mengenai strategi pembiayaan iklim yang disesuaikan dengan konteks transisi energi hijau Indonesia.
Banyak Tantangan
Ketua Dewan Pengawas PYC, Inka B. Yusgiantoro menyatakan bahwa pendanaan iklim masih dihadapkan banyak tantangan, namun solusi dapat diciptakan dari kolaborasi lintas sektor yang selaras dengan dinamika global dan didukung kebijakan yang memfasilitasi partisipasi semua pihak.
“PYC Talks mengukuhkan kembali komitmen PYC dalam mendukung pengembangan kebijakan energi berkelanjutan yang inklusif dan berbasis inovasi, serta sejalan dengan tujuan pembangunan nasional,” jelas Inka.
Ia mengatakan, melalui talkshow ini, PYC berharap dapat meningkatkan pemahaman tentang berbagai strategi pendanaan iklim yang sesuai kebutuhan dan tantangan transisi energi hijau di Indonesia.
Sementara itu, ekonom senior BI, Arnita secara khusus mengungkapkan upaya BI mendukung transisi energi yang inklusif, dengan mendorong perbankan untuk memperbanyak kredit hijau dan menggalakkan sustainability reporting bagi para calon kreditur.
Kepala Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia, Paul Butarbutar menyampaikan bahwa perkembangan JETP pasca mundurnya Amerika Serikat (AS) serta strategi ke depan untuk pendanaan transisi energi berkeadilan.
Hal senada juga diungkapkan Executive Director METI, Yudha Permana Jayadikarta. Yudha mengungkapkan, peran strategis pelaku industri energi terbarukan dalam mengakses dan mengakselerasi pendanaan iklim untuk transisi energi di Indonesia melalui skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
Disebutkan KPBU merupakan skema pendanaan infrastruktur di mana badan usaha swasta dan pemerintah berbagi risiko dan modal proyek untuk pembiayaan proyek energi bersih dan rendah karbon karena akan mengurangi beban APBN sekaligus mendorong keterlibatan swasta.
KPBU juga memungkinkan kolaborasi blended finance dengan jaminan pemerintah atau pembiayaan publik (APBN/SBSN) sehingga akan memperkuat pembiayaan ramah investor di sektor energi baru terbarukan (EBT).
Kebutuhan Mendesak
Harus diakui bahwa pendanaan iklim di Indonesia merupakan kebutuhan mendesak. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi besar untuk menarik pendanaan iklim, baik dari dalam maupun luar negeri, mengingat anggaran pemerintah terbatas. Prioritas pemerintah masih didominasi sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar.
Akibatnya ada ketergantungan pada pembiayaan eksternal. Indonesia sangat bergantung pada dana hibah dan pinjaman luar negeri, yang belum cukup untuk menutup kebutuhan pendanaan iklim yang besar.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan, kebutuhan pendanaan iklim berkisar US$ 281 miliar hingga tahun 2030, namun investasi aktual masih jauh dari angka itu.
Kurangnya pipeline proyek hijau yang matang dan bankable membuat investor enggan masuk. Investor swasta juga cenderung melihat investasi iklim sebagai berisiko tinggi dengan imbal hasil rendah. Selain itu, kurangnya instrumen keuangan inovatif seperti green bond atau blended finance yang menarik minat swasta.
Untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia, yaitu emisi -29 % domestik dan -41 % dengan bantuan internasional, dibutuhkan investasi sekitar US$ 247–285 miliar di sepanjang tahun 2018–2030.
Dari kebutuhan itu, pendanaan publik APBN dan lembaga publik hanya mampu menutupi sekitar 30–34 %, menyisakan kurang lebih US $145–240 miliar yang perlu ditutup melalui investasi swasta dan internasional.
Pembiayaan yang kini masih didominasi pinjaman sekitar hingga 80 – 90%, yang dapat memperberat utang negara berkembang. Diharapkan lebih banyak tersedia dana dalam bentuk hibah, pinjaman lunak, atau de-risking instruments (penjaminan, blended finance). Setidaknya dana harus mudah diakses, tidak terlalu birokratis, dan sesuai kapasitas negara berkembang. (nov)