Isu Redenominasi Mencuat, Sudah Siapkah Kita?

April 27, 2023

BRIEF.ID – Setelah vakum lebih dari  dua tahun  akibat pandemi,  isu tentang redenominasi kini kembali mencuat, walaupun belum semasif sebelum tahun 2020.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pada Juli 2020 sebetulnya sudah mengeluarkan  Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang rencana strategis yang di dalamnya termaktub  rencana untuk redenominasi pada tahun 2025 mendatang.

Namun, sampai saat ini saya pribadi belum melihat gencarnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah maupun Bank Indonesia (BI) untuk mewujudkan rencana redenominasi itu.

Redenominasi adalah proses penggantian mata uang lama dengan mata uang baru, dengan mengurangi nilai nominal dari suatu mata uang. Sebagai contoh, redenominasi dapat dilakukan dengan mengganti 1.000 unit mata uang lama dengan 1 unit mata uang baru  atau Rp 100  menjadi Rp 1 rupiah.

Pengalaman Redenominasi

Indonesia pernah melakukan redenominasi pada tahun 1965 dan 1970. Pada tahun 1965,  redenominasi dilakukan untuk pertama kalinya dengan mengganti mata uang  “Rupiah Baru” dengan  “Rupiah” dan mengurangi nilai nominalnya sebesar seribu kali lipat. Kemudian pada tahun 1970, Indonesia kembali melakukan redenominasi dengan mengurangi nilai nominal rupiah sebesar seratus kali lipat.

Redenominasi  dilakukan untuk mengatasi masalah inflasi dan meningkatkan efisiensi administrasi keuangan. Redenominasi juga diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan publik pada mata uang dan perekonomian negara.

Dampak positif dari redenominasi rupiah pada tahun 1960an dan 1970an antara lain mempercepat administrasi keuangan, mengurangi biaya produksi uang, dan memperbaiki kepercayaan masyarakat pada sistem keuangan. Namun, dampak negatifnya adalah kesulitan dalam adaptasi bagi beberapa masyarakat dan potensi spekulasi selama masa transisi.

Jika dijabarkan lebih lanjut, dampak positif dari redenominasi rupiah di Indonesia adalah

A. Efisiensi administrasi keuangan: Redenominasi dapat mempermudah dan mempercepat administrasi keuangan karena jumlah uang kertas dan koin dalam sirkulasi berkurang secara signifikan.

B. Menurunkan biaya produksi uang: Produksi uang baru menjadi lebih murah karena nilai nominal lebih kecil, sehingga dapat menghemat biaya untuk mencetak dan mendistribusikan uang baru.

    C. Meningkatkan kepercayaan publik: Redenominasi memberikan sinyal positif bagi masyarakat bahwa pemerintah berusaha memperbaiki sistem keuangan dan mengendalikan inflasi.

    Sementara dampak negatif dari redenominasi Rupiah di Indonesia, antara lain

    Pertama, kesulitan beradaptasi.  Sejumlah kalangan, khususnya kelompok masyarakat yang lebih tua atau yang memiliki akses terbatas kepada teknologi, mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan nilai nominal yang baru.

    Kedua, potensi spekulasi.   Redenominasi memberikan kesempatan bagi spekulan untuk memanipulasi harga mata uang selama masa transisi, meskipun pemerintah telah memperkuat pengawasan dan penegakan hukum terhadap tindakan spekulatif.

    Ketiga, perlu biaya yang cukup besar.   Redenominasi memerlukan biaya yang cukup besar untuk mengganti uang lama dengan uang baru, serta untuk mengadaptasi sistem perbankan dan perangkat lunak lainnya yang terkait.

    Sebagai catatan  beberapa negara yang telah melakukan redenominasi.

    Pertama, Turki pada tahun 2005. Turki melakukan redenominasi dengan mengurangi nilai nominal Lira Turki sebesar enam nol, sehingga satu unit lira baru setara dengan satu juta lira lama. Redenominasi ini sukses mengurangi inflasi dan mempercepat transaksi keuangan di negara tersebut.

    Kedua,  Brasil pada tahun 1994. Brasil melakukan redenominasi dengan mengganti mata uang Cruzeiro dengan Real dan mengurangi nilai nominalnya sebesar dua nol. Redenominasi ini berhasil menekan inflasi dan memperbaiki stabilitas ekonomi Brasil.

    Ketiga, Korea Selatan.  Pada tahun 1962, Korea Selatan melakukan redenominasi dengan mengganti mata uang lama Won dengan Won baru dan mengurangi nilai nominalnya sebesar sepuluh kali lipat. Redenominasi ini membantu meningkatkan kepercayaan publik pada sistem keuangan Korea Selatan dan mempercepat transaksi keuangan.

    Keempat, Zimbabwe. Pada tahun 2009, Zimbabwe melakukan redenominasi dengan mengganti mata uang lama dengan dolar Zimbabwe baru dan mengurangi nilai nominalnya sebesar sepuluh miliar kali lipat. Redenominasi ini dilakukan sebagai upaya untuk mengatasi inflasi yang sangat tinggi di negara tersebut.

    Kelima, Rusia. Pada tahun 1998, Rusia melakukan redenominasi dengan mengganti mata uang Rubel lama dengan Rubel baru dan mengurangi nilai nominalnya sebesar seribu kali lipat. Redenominasi ini membantu meningkatkan efisiensi administrasi keuangan dan memperkuat kepercayaan publik pada sistem keuangan Rusia.

    Redenominasi dan Sanering.

    Redenominasi adalah pengurangan nilai nominal mata uang dan penerbitan uang baru dengan nilai nominal yang lebih kecil. Tujuannya  mempermudah transaksi, mengurangi biaya produksi uang kertas, dan memperbaiki kepercayaan masyarakat pada sistem keuangan.

    Contohnya, ketika Indonesia melakukan redenominasi rupiah pada tahun 1965 dan 1970.

    Sementara itu, sanering adalah pengurangan nilai nominal uang yang bersifat paksa dan dilakukan oleh pemerintah. Sanering dilakukan ketika terjadi krisis moneter yang parah, di mana nilai uang mengalami penurunan yang sangat drastis sehingga pemerintah mengambil tindakan dengan mengurangi nilai nominal mata uang secara tiba-tiba.

    Tujuannya adalah untuk mengatasi inflasi dan memperbaiki keadaan ekonomi negara. Contohnya adalah ketika Argentina melakukan sanering peso pada tahun 2002.

    Meskipun tujuan dari redenominasi dan sanering memiliki persamaan, yaitu untuk mengatasi masalah inflasi dan memperbaiki keadaan ekonomi, namun cara pelaksanaannya berbeda. Redenominasi dilakukan secara sukarela dan terencana, sedangkan sanering bersifat paksa dan biasanya dilakukan ketika terjadi krisis ekonomi yang parah.

    Pertanyaan paling penting tentunya adalah seberapa siap pemerintah dan rakyat Indonesia untuk melakukan redenominasi?

    Penulis: Edhi Pranasidhi

    Pengamat Pasar Modal & Founder Indonesia Superstock Community

    No Comments

      Leave a Reply