Isra Mikraj, Teologi dan Teknologi

BRIEF.ID – Setelah mengalami kesedihan mendalam dan beruntun, yakni wafatnya isteri dan pamannya, serta kekejaman kafir Quraisy, Nabi Muhammad Saw dihibur dan diajak ’jalan-jalan’ Ilahiah hingga sidratul muntaha dalam satu malam. Peristiwa ini disebut Isra Mikraj, terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-10 kenabian.

Peristiwa Isra tergolong luar biasa sehingga diabadikan dalam QS al-Isra: 1 dan al-Najm: 13-18. Kata subhana di awal surat al-Isra mengindikasikan bahwa Nabi merasakan pengalaman agung dan menakjubkan yang tak mungkin terjadi tanpa campur tangan Allah Swt. Episode Mikraj Nabi ke langit tertinggi (sidratul muntaha) juga tidak kalah dahsyatnya. Keduanya merupakan peristiwa yang menyalahi adat (khariq lil ’adah).

Isra Mikraj merupakan mukjizat untuk Nabi Muhammad Saw dan ujian bagi umat Islam saat itu yang baru sedikit pengikutnya. Bagi yang beriman, betapapun absurdnya peristiwa itu, jika Allah Swt berkehendak pasti akan terjadi. Mereka bertambah mantap keimanannya dan kerasulan Nabi Muhammad Saw terbukti benar. Bagi orang yang tidak beriman, peristiwa Isra Mikraj dianggap bukti kebohongan Nabi Muhammad Saw untuk yang kesekian. Tidak sedikit orang yang ingkar dan murtad mendengar kisah ini.

Tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah Swt ditunjukkan dihadapan nabi pada peristiwa ini. Pertemuan dengan nabi sebelumnya memperbesar hati nabi untuk melanjutkan dakwah Islamiyyah. Tempat akhir umat manusia, yakni surga dan neraka, dan bagaimana nasib penghuninya, didisplay sedemikian rupa. Nabi Muhammad Saw betul-betul mendapat gambar utuh dan kelak umatnya akan tinggal di mana.

Oleh-oleh terbesar Isra Mikraj berupa perintah salat lima waktu. Untuk memperkuat hubungan keduanya (yang memang sudah kuat), dibuat ungkapan populer: ”Al-shalat mi’raj al-mukmin” (shalat adalah mikraj-nya orang beriman). Ungkapan itu seolah kias dengan mikraj yaitu naiknya Nabi Muhammad hingga ke sidratu al-muntaha, maka shalat disebut sebagai sarana naiknya orang beriman (mikraj) bertemu Allah Saw.

Spirit Sains
Isra dan mikraj memiliki dimensi teologis yang kuat. Melalui peristiwa ini, Allah Swt menunjukkan kebesaran-Nya dan sekaligus menguji kekuatan iman umatnya. Dalam konteks saat itu, mustahil perjalanan sejauh itu (isra), apalagi hingga naik ke atas (mikraj) dapat dilakukan dengan kendaraan Buraq dalam beberapa jam saja.

Spirit yang sering dilupakan umat Islam saat memperingati peristiwa Isra Mikraj adalah dimensi sains atau teknologi (ilmiah). Benar bahwa Isra Mikraj memiliki muatan tauhid dan ajaran moralitas yang paripurna. Tetapi harus diingat, Isra Mi’raj mengandung challenge bagi umat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan.

Jenis moda transportasi apa yang sanggup melakukan perjalanan sejauh itu hanya dalam beberapa jam? Berangkat setelah shalat Isya dan kembali lagi sebelum waktu Subuh tiba. Jarak perjalanan Makkah-Palestina sekitar 1.500 km. dalam konteks sekarang, pesawat dapat menempuhnya 2 sampai 3 jam perjalanan. Sedangkan perjalanan Mikraj ke langit ketujuh, entah berapa jauhnya. Ini tantangan ilmiah-Ilahiah yang wajib dijawab umat Islam.

Spirit teknologi harus dinyalakan saat memperingati peristiwa Isra dan Mi’raj ini. Generasi muda Muslim harus memiliki kecintaan pada iptek dan teknologi, sebagaimana cerita pada zaman keemasan Islam. Kemajuan ilmu pengetahuan dan ekonomi pernah diraih umat Islam pada abad VII hingga XI. Puncak kejayaan itu terjadi pada Dinasti Abbasiyah (750-1000 M). Kolaborasi sarjana muslim (ulama, filosof, ilmuwan berbagai bidang) dan para pedagang menjadi kekuatan kunci berkembangnya ilmu pengetahuan di berbagai bidang saat itu (Kuru, 2020).

Sarjana Muslim berpikir bebas dan independen. Mereka tumbuh dalam masyarakat yang beragam. Mereka tidak mengandalkan patronase dan persekutuan dengan penguasa. Malah, Imam Ahmad misalnya, rela dipenjara karena tidak mengikuti kemauan penguasa.

Biaya riset yang dibutuhkan, disupport oleh pedagang yang cinta ilmu. Negara memang menyokong penerjemahan buku-buku asing, seperti yang dilakukan oleh Baitul Hikmah pada masa al-Makmun (813-833) atau khalifah Harun Al-Rasyid. Tetapi watak negara yang politis, tidak selalu konsisten dukungannya kepada pemajuan ilmu pengetahuan.

Karena itu, umat Islam harus memperbanyak stok sarjana dan pedagang muslim (pengusaha) yang cinta ilmu agar kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat kita raih kembali. (Dikutip dari laman resmi Kementerian Agama RI).

Abu Rokhmad (Dirjen Bimas Islam Kemenag RI)

Share post:

Subscribe

spot_imgspot_img

Popular

More like this
Related

Pesawat American Airlines Tabrakan dengan Helikopter Militer, 18 Jenazah Ditemukan

BRIEF.ID - Pesawat American Airlines bertabrakan dengan helikopter militer...

Puan: Grup Kerja Sama Bilateral Perkuat Posisi Indonesia di Kancah Internasional

BRIEF.ID - Ketua DPR RI Puan Maharani menyatakan,  Grup...

Jet PSA Airlines Bertabrakan dengan Helikopter  

BRIEF.ID - Administrasi Penerbangan Federal Amerika Serikat (FAA) pada...

Menkeu Beri Sinyal Penambahan Anggaran Program Makan Bergizi Gratis

BRIEF.ID - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memberikan...