BRIEF.ID – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan Rabu (23/7/2025) di Bursa Efek Indonesia (BEI) diperkirakan bakal rontok menuju level 7.300, setelah ditutup melemah 53,4 poin, dalam perdagangan Selasa (22/7/2025).
IHSG ditutup melemah 0,72% ke posisi 7.344,73 karena terseret koreksi tajam di sektor barang baku yang merosot 4,36% ke 1.558. Sebaliknya, sektor infrastruktur menguat 1,70% ke 1.876, menjadi salah satu penopang di tengah pelemahan mayoritas sektor lainnya.
Pelemahan ini adalah yang pertama sejak 7 Juli 2025. Berdasarkan data RTI Infokom, saat itu sebanyak 220 saham menguat, 379 saham melemah, dan 200 saham stagnan.
Phintraco Sekuritas memprediksi IHSG akan bergerak pada rentang resistance 7.450, pivot 7.400, dan support 7.300.
Saham-saham yang diperkirakan berpotensi memberikan keutungan di antaranya, PT Buma Internasional Grup Tbk (DOID), PT Alamtri Tbk (ADRO), PT Adaro Minerals Indonesia Tbk (ADMR), PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI), dan PT Bank BTPN Syariah (BTPS).
Pelemahan IHSG mencerminkan sikap investor yang cenderung berhati-hati mengikuti ketidakpastian global. Menjelang pemberlakuan tarif Amerika Serikat (AS) pada 1 Agustus 2025, pasar menakar risiko baru setelah Juru Bicara Gedung Putih menyebut Presiden AS Donald Trump berpotensi mengirim lebih banyak surat tarif kepada negara-negara mitra dagang.
Pemerintah Swiss bahkan mengklaim kesepakatan telah menunggu tanda tangan Trump selama beberapa minggu terakhir, sementara India juga masuk dalam daftar negara terdampak.
Meski demikian, arah negosiasi masih belum jelas. Jepang dan Korea Selatan berulang kali gagal merampungkan kesepakatan, sedangkan Indonesia dan Vietnam sudah mencapai kesepakatan meski dengan konsesi lebih besar.
“Negara-negara yang belum tersentuh tarif tidak bisa merasa aman… dengan pemerintahan AS saat ini, segalanya mungkin terjadi,” kata pejabat Gedung Putih.
Selain itu, pasar juga memantau kebijakan moneter global, dengan gubernur bank sentral disarankan lebih berhati-hati dalam menilai risiko inflasi setelah kesalahan proyeksi pada masa pandemi. Kekuatan dolar AS selama ini ditopang sikap hati-hati The Fed.
Pasar memprakirakan inflasi sekitar 3,5% dalam setahun mendatang dan suku bunga turun lebih dari 100 basis poin. Jika tekanan inflasi akibat perang dagang terbukti hanya sementara, fokus pasar bisa beralih ke bank-bank sentral lain yang lebih cepat menurunkan suku bunga.
“Kondisi ini dinilai menjadi sinyal negatif bagi Dolar AS,” ujar analis valas Commerzbank, Michael Pfister.
Ia menambahkan, dolar AS akan menemukan support jangka pendek minggu ini, tetapi tren penurunan dolar AS tahun berjalan tetap utuh. (nov)