BRIEF.ID – Bank Sentral Amerika Serikat atau Federal Reserve (The Fed) memprediksi inflasi 2025 lebih tinggi, seiring ketidakpastian global dan arah kebijakan ekonomi Presiden Donald Trump.
Hal itu, disampaikan Gubernur The Fed, Jerome Powell, dalam catatan penting untuk mengantisipasi kondisi ekonomi 2025, dalam konferensi pers seusai pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC), Rabu (18/12/2024) atau Kamis (19/12/2024) dinihari WIB.
“Saya pikir laju pemotongan (suku bunga) yang lebih lambat ini benar-benar mencerminkan angka inflasi, yang lebih tinggi, yang kita hadapi tahun ini, dan ekspektasi bahwa inflasi akan lebih tinggi pada tahun 2025,” kata Powell dalam konferensi pers.
Powell menyampaikan keputusan FOMC The Fed untuk memangkas suku bunga acuan atau Fed Fund Rate (FFR) sesuai dengan kondisi inflasi saat ini.
Namun di tahun depan, The Fed akan lebih hati-hati memangkas suku bunga acuan, meskipun ekspetasi inflasi akan lebih tinggi.
Hal itu, disebabkan The Fed harus mengantisipasi arah kebijakan ekonomi Presiden Donald Trump, yang diperkirakan akan memicu lonjakan inflasi, seiring kebijakan pengetatan tarif dan perang dagang.
Powell memberikan sinyal The Fed masih akan memangkas suku bunga acuan sebanyak 2 kali di tahun 2025, dan melanjutkannya pada tahun 2026 dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian.
“Kami lebih dekat dengan tingkat netral, yang merupakan alasan lain untuk berhati-hati dalam langkah lebih lanjut. Meski demikian, kami melihat masih tetap berada pada jalur untuk melakukan pemotongan (suku bunga),” ungkap Powell.
Pemotongan suku bunga Fed tahun ini menandai perubahan setelah lebih dari dua tahun dengan suku bunga tinggi, yang sebagian besar membantu mengekang inflasi tetapi juga membuat pinjaman menjadi sangat mahal bagi konsumen Amerika.
Namun sekarang, The Fed menghadapi berbagai tantangan dalam upaya untuk mencapai “soft landing” bagi ekonomi Amerika Serikat (AS), di mana suku bunga yang tinggi dapat menahan inflasi tanpa menyebabkan resesi.
Pada saat yang sama, ekonomi tumbuh dengan pesat, yang menunjukkan bahwa suku bunga tinggi belum banyak menahan ekonomi.
Beberapa ekonom dan pejabat The Fed berpendapat bahwa suku bunga pinjaman tidak perlu banyak diturunkan, karena khawatir dapat memanaskan kembali ekonomi dan memicu inflasi.
“Kami tidak berpikir kami membutuhkan pendinginan lebih lanjut di pasar tenaga kerja untuk membawa inflasi di bawah 2%,” kata Powell dalam konferensi pers.
Selain itu, lanjutnya, The Fed harus mengantisipasi kebijakan ekonomi Presiden Donald Trump, yang telah mengusulkan berbagai pemotongan pajak pada manfaat Jaminan Sosial, pendapatan tip, dan pendapatan lembur serta pengurangan regulasi.
Secara kolektif, langkah-langkah ini dapat merangsang pertumbuhan, namun ancaman pengetatan tarif dan deportasi massal migran yang diserukan Trump juga dapat mempercepat lonjakan inflasi.
Meskipun belum dapat menilai arah kebijakan ekonomi Donald Trump, The Fed sudah melakukan antisipasi karena melihat hasil Pemilu AS yang telah meningkatkan ketidakpastian seputar ekonomi global.
“Dengan rincian kebijakan yang akan dijalankan Presiden Trump, kami akan melihat sejauh mana hal ini mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan dapat mempengaruhi keputusan terkait suku bunga,” tutur Powell.