BRIEF.ID – Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Padjajaran (Unpad) Profesor Susi Dwi Harijanti angkat bicara perihal 3 dampak yang kemungkinan terjadi bila putusan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa hasil Pilpres 2024 tidak sesuai rasa keadilan di masyarakat.
Menurut dia, jika putusan MK yang akan dibacakan pada Senin (22/4/2024) mengokohkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Nomor 360 Tahun 2024, maka yang hancur adalah konstitusi dan demokrasi.
Oleh karena itu, para guru besar dari berbagai kampus berkukuh menggelar gerakan moral untuk menguji putusan MK terkait sengketa hasil Pilpres 2024 yang diajukan oleh paslon nomor 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Amin) dan paslon nomor 03 Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
“Jika putusan dianggap tidak mencerminkan rasa keadilan, maka kami akan melihat apa pertimbangan hakim, apakah bisa diterima atau tidak secara nalar hukum. Karena pertimbangan putusan harus didasarkan pada pemeriksaan alat bukti,” kata Susi dikutip dari kanal Youtube Abraham Samad “Speak Up,” Minggu (21/4/2024).
Dijelaskan, selain alat bukti hakim MK memiliki berbagai sumber hukum dan salah satunya adalah amicus curiae atau sahabat pengadilan yang merupakan sumber hukum nonformal.
“Amicus curiae tidak punya kekuatan seperti alat bukti tetapi bukan menjadi sesuatu yang tidak bida dipertimbangkan, menurut saya malah harus jadi pertimbangan hakim karena menjadi sumber hukum,” ujarnya.
Susi menegaskan, bila putusan MK tidak sesuai dengan rasa keadilan di mayarakat, maka dunia kampus dan mereka yang punya konsern untuk masa depan Indonesia tetap harus bergerak, tidak bisa diam saja.
“Silakan MK memberi putusan itu, tetapi kami tetap mengkritisi dan melakukan eksaminasi atas putusan itu dan terus melakukan edukasi publik,” katanya.
Perguruan tinggi akan melakukan perannya sebagai lembaga ilmiah dan lembaga pendidikan, sementara masyarakat sipil pun akan melakukan peran sesuai fungsinya.
Dikatakan, perguruan tinggi dan komunitas masyarakat sipil memiliki komitmen bersama bahwa gerakan moral tidak berhenti saat putusan MK dikeluarkan.
Pengadilan Rakyat
Selain eksaminasi putusan MK, hal lain yang kemungkinan akan dilakukan perguruan tinggi dan masyarakat sipil adalah menggelar pengadilan rakyat sebagai respons atas kecurangan pada Pilpres 2024.
Susi menyebut, bahwa pengadilan rakyat merupakan hal yang baru di Indonesia, namun merupakan hal biasa di negara lain, serta merupakan salah satu cara mengedukasi oleh kaum intelektual agar masyarakat kompeten (terdidik), sadar atas kewajiban sebagai warga negara dan berani mengatakan salah jika salah.
“Meskipun yang dijadikan di dalam people’s tribunal itu adalah penguasa, ini dalam rangka edukasi bukan mendelegitimasi, bukan untuk merongrong kekuasaan, tetapi harus dilihat hal yang lebih lagi, untuk menjadikan warga negara yang lebih kompeten,” beber Susi.
Dia mengingatkan, bahwa tujuan moral dari negara didirikan adalah kebajikan dan keadilan negara. Tujuan itu bisa tercapai jika fungsi negara dijalankan oleh lembaga negara dan pemerintahan yang diisi orang-orang yang kompeten berdasarkan meritokrasi bukan nepotisme.
“Ketika pejabat tidak memiliki kapasitas, maka fungsi negara tidak bisa dijakankan dengan baik, dan tujuan negara tidak akan terwujud. Maka menjadi penting bagi Indonesia untuk memiliki warga yang kompeten. Misalnya, melakukan pengawasan karena rakyat adalah pemegang kedaulatan,” jelasnya.
Susi khawatir, jika pemimpin dilahirkan dari hasil nepotisme, tidak akan punya kesadaran penuh mengenai tujuan moral dari negara, maka kemiskinan akan terus menerus karena pejabat yang terpilih dari nepotisme melindungi kepentingan golongan bukan kepentingan rakyat.
“Bukan pemerintahan demokratis yang terjadi, tetapi pemerintahan otoriter dan pengisian jabatan tidak demokratis dan meritokrasi tetapi otokrasi yang diambil dari lingkungannya sendiri,” lanjutnya.
Reformasi Jilid II
Pada kesempatan itu, Susi mengungkapkan kekhawatirannya mengenai potensi terjadinya gerakan Reformasi Jilid II bila putusan MK tidak adil dan merupakan akumulasi dari berbagai persoalan.
Seperti pelanggaran etik di MK dan KPU, pengisian jabatan publik berdasarkan nepotisme yang melahirkan kebijakan nepotisme yang meruntuhkan sistem sosial kemasyarakatan.
“Kalau ini sudah terakumulasi dan tidak ada jalan keluar, satu-satunya cara kita khawatirkan apa yang terjadi pada reformasi terulang lagi, tetapi penyebabnya itu lebih akut yang sekarang dibanding yang dahulu. Jika terjadi reformasi jilid II apakah dampaknya bisa lebih cepat pulih dibanding 1998, Indonesia Emas 2045 dikatakan Indonesia cemas. Ketangguhan kita sebagai bangsa kembali diuji,” tambahnya.
No Comments