Fenomena La Nina Ancam Produksi Pangan, CORE Indonesia: Sulit untuk Tak Impor Beras

BRIEF.ID – Fenomena La Nina Lemah yang melanda sebagian besar wilayah Indonesia pada Januari 2025 mengancam produksi pangan di tahun ini, sehingga sulit untuk tidak menimpor beras di tahun ini.

Pernyataan itu, disampaikan Research Associate CORE Indonesia, Prof. Dr. Ir. Dwi Andreas Santosa, dalam Diskusi 100 Hari Pemerintahan Prabowo: Telaah Kritis Prospek, Tantangan, dan Peluang Sektor Strategis Tahun 2025, di Jakarta, Selasa (21/1/2025).

La Nina adalah fenomena anomali iklim global yang disebabkan suhu permukaan laut di Samudera Pasifik lebih dingin dari biasanya dan meningkatkan curah hujan. La Nina lemah selama musim hujan dapat menambah 20%-40% curah hujan.

Menurut Andreas, fenomena La Nina yang mengintai sebagian besar wilayah Indonesia termasuk daerah penghasil beras, seperti Jawa Barat, Jawa Tenegah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), hingga Sulawesi Selatan di awal tahun ini, akan mengganggu produksi beras.

Terkait dengan itu, Andreas menilai rencana pemerintah untuk menghentikan impor beras mulai 2025 sulit dilakukan, lantaran produksi beras yang menurun akibat fenomena La Nina dapat mengganggu pasokan untuk kebutuhan nasional.

“Sekalipun tetap dipaksakan untuk tidak impor beras di tahun 2025, maka risikonya adalah cadangan beras akan digunakan, tetapi di tahun 2026 mau tidak mau pemerintah akan impor beras lagi,” kata Andreas.

Menurut dia, kebijakan pemerintah untuk menghentikan impor beras dan mengarah pada swasembada beras hendaknya dilakukan dengan perhitungan matang agar tidak terkesan sebagai jargon politik atau jualan pemerintah.

Dalam 10 tahun terakhir, lanjutnya, Indonesia selalu mengimpor beras. Pada periode I pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indonesia mengimpor beras pada tahun 2014-2016.

Kemudian pada 2017 impor beras dihentikan, karena data yang tidak akurat di Kementerian Pertanian dan lembaga terkait. Sebagai akibatnya pada 2018 impor beras melonjak signifikan.

“Hanya selama periode Kementerian Pertanian di bawah Syahrul Yasin Limpo, Indonesia tidak impor
beras pada 2019-2022. Tapi pada tahun 2023 saat beliau dipecat, impor beras melonjak lagi gila-gilaan,” ujar Andreas.

Dia menyatakan setuju dengan program swasembada beras yang dicanangkan pemerintah, namun sebaiknya melalui tahapan perencanaan hingga implementasi yang matang, agar tidak bernasib sama dengan target swasembada pangan yang gagal dari tahun 2015-2019, begitu juga pada tahun 2020 hingga 2022.

“Dari data, produksi padi kita turun sekitar 0,3% per tahun. Bisa dibayangkan dengan pertambahan penduduk tapi produksi padi turun, maka rencana untuk menghentikan impor beras harus dikaji betul.  Pertanyaannya, kenapa pemerintah yakin kebutuhan beras tetap cukup, padahal produksi turun dan tanpa nimpor, karena masih ada cadangan beras, tapi mau sampai kapan polanya tetap begini?” ungkap Andreas.

Dia juga menyoroti kecenderungan meningkatnya impor gandum dalam beberapa tahun terakhir. Saat ini, impor gandum sudah mencapai 28%. Andreas mengkhawatirkan impor gandum akan terus meningkat bahkan menyentuh angka 50% saat Indonesia mencapai usia 100 tahun pada 2045.

Food Estate

Terkait dengan rencana pemerintah membuat Food Estate untuk mencapai swasembada pangan termasuk
mencetak sawah seluas 750.000 hektar selama tiga tahun berturut-turut, mulai dari 2025 hingga 2027, Andreas menilai hal itu belum tentu menutup defisit produksi beras dalam negeri.

Dengan penambahan areal sawah seluas 750.000 hektar, diperkirakan akan menambah volume produksi beras sebesar 2,5 juta ton. Namun penambahan areal sawah tidak sepenuhnya menjamin penambahan produksi beras.

Pada 2023, Indonesia mengimpor beras sebanyak 3,5 juta ton ketika volume produksi dalam negeri mencapai 31,10 juta ton, dan kebutuhan atau permintaan pasar lokal mencapai 22.639.224 ton.

Kemudian pada tahun 2024,  kebutuhan beras nasional diperkirakan 31,2 juta ton, ketika produksi dalam negeri diproyeksikan 30,34 juta ton, atau turun 0,76 juta ton dari tahun sebelumnya.

Penurunan produksi padi antara lain disebabkan fenomena perubahan iklim, seperti El Nino pada akhir 2023, yang menyebabkan 50.469 hektar sawah yang gagal panen atau puso akibat banjir.

Terkait dengan itu, Andreas mengatakan pemerintah perlu mengkaji ulang program Food Estate, mdan sebaiknya mendorong gerakan transmigrasi dengan fokus pada sektor pertanian.

“Daripada puluhan triliun dikeluarkam untuk program food estate yang pasti gagal, sebaiknya alihkan anggarannya untuk program transmigrasi den gan fokus pada sektor pertanian, dan jaminan kehidupan transmigran selama 4 tahun. Ini lebih efektif untuk meningkatkan produksi pangan, daripada program food estate,” tutur Andreas.

Share post:

Subscribe

spot_imgspot_img

Popular

More like this
Related

100 Hari Pemerintahan Prabowo: Performa Industri Pengolahan Membaik, Pertumbuhan Upah Minus

BRIEF.ID -  Performa industri pengolahan Indonesia membaik selama 100...

Puan Maharani Isyaratkan Pertemuan Megawati-Prabowo Jadi Kejutan

BRIEF.ID - Ketua DPR RI yang juga Ketua DPP...

DPR Sikapi Serius Wacana Relokasi 2 Juta Warga Gaza ke Indonesia

BRIEF.ID - Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan menyikapi...

Puan Maharani Pastikan Tindak Lanjut Persoalan Pagar Laut 30,16 Km

BRIEF.ID - Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan, Komisi...