BRIEF.ID – Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) mendorong para dosen untuk dapat menyikapi generative artificial intelligence (generative AI) atau kecerdasaan buatan generatif secara baik dan bijak. Mereka diharapkan menerima manfaat dari perkembangan teknologi tersebut, namun tetap kritis serta beretika dalam pemanfaatannya.
Terkait hal tersebut, FEB UI melaksanakan Workshop Generative AI untuk para dosennya yang diisi oleh Profesor Erika Fille T. Legara (Asian Institute of Management, The Philippines) pada Senin (12/8/2024) secara hybrid. Dr. Legara sendiri adalah Chief AI and Data Officer di Center of AI Research dan Associate Professor/Aboitiz Chair in Data Science di Asian Institute of Management. Sedangkan workshop tersebut mengangkat tema Educators+Machines: Shaping the Future of Education.
Dalam acara tersebut, Dr. Legara mengatakan melalui acara seperti ini pihaknya benar-benar ingin membekali para pendidik dengan keterampilan baru mengenai cara berinteraksi dengan ‘mesin’ atau kecerdasan buatan. Dengan demikian, para pendidik akan jauh lebih efektif ketika menghadapi dan menyelami aspek atau isu yang lebih sulit juga menantang tentang AI dalam pendidikan bisnis.
“Ada begitu banyak isu yang harus kita hadapi, salah satunya adalah kesenjangan keterampilan di antara para pendidik. Mudah-mudahan, kita semua akan bekerja sama sehingga kita dapat membantu meningkatkan dan melatih kembali para pendidik sehingga kita benar-benar dapat menjadi jauh lebih efektif dalam membentuk masa depan pendidikan dengan kecerdasan buatan,” katanya menekankan.
Menurutnya, pihak pendidik perlu memastikan bahwa para siswa tidak terlalu bergantung pada kecerdasan buatan. Saat ini, alat/aplikasi/perangkat lunak dengan kecerdasan buatan ‘untuk membantu’ para mahasiswa sudah beredar luas. Termasuk, AI untuk mendeteksi apakah kita menggunakan AI atau tidak. Namun, teknologi-teknologi tersebut masih belum sempurna dan banyak membuat kesalahan. Itulah sebabnya di Amerika Serikat (AS), kata Dr. Legara, ada banyak kasus, di mana mahasiswa menuntut universitas atau pendidik, karena para mahasiswa tersebut dituduh menggunakan AI saat mengerjakan tugas mereka, di saat hal tersebut tidak dilakukan sama sekali.
“Teknologinya masih belum sempurna. Jadi apa yang kita lakukan di kampus? Saya sebenarnya mendorong siswa saya untuk menggunakan generative AI, dan alasannya adalah karena perusahaan/dunia kerja di luar sana sudah menggunakan generative AI. Namun, saya memberikan peringatan. Saya memastikan bahwa cara saya menilai mereka sudah sangat berbeda. Jadi, pedagoginya juga harus berubah,” tuturnya.
Setidaknya, hal itu menjadi cara untuk menavigasi atau membatasi pemanfaatan generative AI dengan baik dan bijak. Menurutnya, pendidik maupun siswa harus kembali kepada nilai-nilai dasar pendidikan itu sendiri. Mengingat dunia pendidikan tidak dapat ‘menghentikan’ penggunaan teknologi.
Dr. Legara menekankan, jika pendidikan berupaya menghentikan siswanya dalam penggunaan teknologi generative AI karena sistemnya belum sempurna, itu sama artinya dengan menghalangi siswa untuk berkembang dan mempersiapkan diri untuk menghadapi dunia nyata. Karena setiap orang telah menggunakan generative AI tersebut.
“Jadi, ini adalah ‘jalan yang sangat menantang’, dan saya pikir itu harus dimulai dengan mengedukasi para pendidik. Kemudian menjelaskan kepada semua siswa terlepas dari latar belakangnya, apa itu kecerdasan buatan sehingga mereka dapat memahami pula keterbatasan model AI,” ujarnya menegaskan.
Beliau juga mengingatkan bahwa dengan memahami generative AI dapat membuat kesalahan akan membuat kita menjadi jauh lebih waspada. Pendidik maupun mahasiswa perlu lebih cermat mengkaji output yang dihasilkan oleh generative AI tersebut. Pengkajian yang cermat terhadap output yang dihasilkan generative AI menurutnya menjadi sebuah tanggung jawab, yang harus disertai pula dengan transparansi.
“Pada akhirnya, kita harus mengkaji ulang apa yang dihasilkan oleh mesin karena kita tetap harus bertanggung jawab. Kita juga harus juga berlaku transparan. Misalnya, kita memberi tahu tim ketika kita menggunakan AI untuk membantu menyusun laporan akhir. Jadi, semuanya harus transparan. Kita harus bertanggung jawab saat menggunakan sistem AI dalam proses yang kita lakukan,” imbuhnya.
Bagian Akreditasi Internasional
Pihaknya, lanjut Dr. Legara, setiap tahun melakukan evaluasi terhadap pemanfaatan AI. Tidak hanya untuk mata kuliah, tetapi juga untuk keperluan di tingkat fakultas. Hal itu dilakukan sebagai bagian dari akreditasi internasional Association to Advance Collegiate School of Business (AACSB), yang merupakan salah satu penilaian paling bergengsi di dunia untuk sekolah bisnis. Sebagai bagian dari AACSB, FEB UI pun akan melakukan evaluasi yang serupa.
Hal ini diamini Wakil Dekan Bidang Pendidikan, Penelitian dan Kemahasiswaan FEB UI Arief Wibisono Lubis. Beliau mengatakan sejak 3 tahun lalu FEB UI telah menyiapkan dan menetapkan kebijakan dalam merespon segala perubahan termasuk generative AI melalui Center for Education and Learning in Economics and Business (CELEB) FEB UI.
“FEB UI sudah menjadi sekolah bisnis yang terakreditasi internasional yang sangat concern juga dengan generative AI yang semakin berkembang. Di FEB UI kami sudah meluncurkan dan juga membuat policy terkait dengan generative AI, sehingga sivitas akademika dapat memanfaatkannya secara etis dan bertanggung jawab,” kata Arief.
Hal ini ditempuh FEB UI agar sivitas akademika mumpuni dalam pemanfaatan generative AI. Tentunya melalui workshop tersebut, dapat dilakukan penguatan SDM dalam pemanfaatan AI yang beretika dan bertanggungjawab, dimulai dari tenaga pendidik.
“Dengan demikian SDM yang dipersiapkan FEB UI dapat memanfaatkan keunggulan generative AI secara optimal namun tetap beretika dan bertanggung jawab. FEB UI pun sudah melakukan benchmarking dengan universitas di dunia terkait dengan pemanfaatan AI,” tutupnya.
FEB UI memang secara konsisten membangun dan meningkatkan kualitas SDM termasuk dalam pemanfaatan kecerdasan buatan. Hal ini pun tak terlepas dari FEB UI yang merupakan bagian dari sekolah bisnis jaringan global yang sudah mendapatkan double crown accreditation.
Seperti diketahui, pada 2022 FEB UI memperbarui akreditasi Internasional Association of MBAs (AMBA) untuk program studi Magister Manajemen (MM FEB UI). Selanjutnya, FEB UI telah pula memperoleh akreditasi internasional AACSB.
Dengan demikian FEB UI menjadi satu-satunya sekolah bisnis di Indonesia penyandang ‘Double Crown’, yaitu tingkat tertinggi pengakuan internasional atas pendidikan tinggi sekolah bisnis (AACSB dan AMBA). FEB UI saat ini tengah berupaya untuk menggapai the third crown, yaitu EQUIS accreditation. Sehingga FEB UI bisa menjadi bagian dari 1% sekolah bisnis di dunia yang memiliki triple crown accreditation.
No Comments