BRIEF.ID – Ekonom Indef M Rizal Taufikurahman menilai, keputusan Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan atau BI-Rate menjadi 5,75% mencerminkan keberanian bank sentral memberikan stimulus moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pemangkasan suku bunga diputuskan pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia bulan Januari 2025, yang digelar 14 – 15 Januari. Selain enurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps), BI juga menurunkan suku bunga deposit facility sebesar 25 bps menjadi 5%, dan suku bunga lending facility menjadi 6,5%.
“Penurunan BI Rate menjadi 5,75 persen merupakan langkah tak terduga yang mencerminkan respons aktif Bank Indonesia terhadap perlambatan ekonomi dan rendahnya inflasi. Langkah ini mencerminkan keberanian BI dalam memberikan stimulus moneter guna mendorong pertumbuhan ekonomi,” kata Head Center of Macroeconomics and Finance Indef, Rizal Taufikurahman dikutip dari Antara, Kamis (16/1/2025).
Rizal mengatakan, keputusan ini perlu diiringi langkah hati-hati karena potensi dampaknya terhadap stabilitas nilai tukar dan arus modal asing, yang memerlukan pengelolaan risiko lebih lanjut.
BI berharap, lanjutnya, penurunan suku bunga menjadi 5,75% akan meningkatkan konsumsi rumah tangga dan investasi melalui biaya pinjaman yang lebih rendah. Secara teori, ujar Rizal, kebijakan ini efektif meningkatkan permintaan domestik.
Namun, ia mengingatkan bahwa keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada kepercayaan konsumen, daya beli, dan kesiapan sektor riil untuk merespons. Tanpa dukungan kebijakan fiskal dan reformasi struktural, dampak penurunan suku bunga terhadap permintaan bisa terbatas.
Di sisi lain, Rizal mengatakan, penurunan BI-Rate meningkatkan risiko pelemahan nilai tukar rupiah karena mengurangi daya tarik investasi berdenominasi rupiah di mata investor asing.
Kondisi ini, jelas dia, dapat memicu arus keluar modal asing dan memberikan tekanan pada stabilitas nilai tukar, terutama jika faktor eksternal, seperti kebijakan suku bunga negara maju, tidak mendukung.
Pelemahan rupiah juga berpotensi meningkatkan biaya impor, yang dapat memicu tekanan inflasi dalam jangka menengah. Untuk mengelola risiko ini, menurut Rizal, maka koordinasi antara kebijakan moneter dan fiskal sangat diperlukan.
“Penurunan suku bunga dapat mengurangi daya tarik aset denominasi rupiah bagi investor asing, yang berpotensi memicu arus keluar modal dan tekanan lebih lanjut pada nilai tukar. Selain itu, pelemahan rupiah dapat meningkatkan biaya impor, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi inflasi di masa depan,” kata Rizal. (nov)