Desa Sadar Kerukunan, Pilar Diplomasi Kebangsaan Indonesia

BRIEF.ID – Pada era globalisasi yang sarat ketegangan identitas dan konflik berbasis agama, Indonesia tampil sebagai oase harmoni. Sebuah negeri yang bukan hanya merayakan keberagaman, tetapi membuktikannya dalam praktik sosial sehari-hari.

Sebagai Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) di Kementerian Agama RI, saya terlibat langsung dalam merumuskan, mengarahkan, dan mengawal kebijakan yang menyentuh akar harmoni bangsa. Dalam kapasitas ini, saya meyakini bahwa kerukunan umat beragama tidak cukup hanya dijaga, tetapi harus terus dikembangkan dan ditampilkan kepada dunia sebagai praktik baik kebangsaan yang terukur, strategis, dan mengakar.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa Indonesia memiliki lebih dari 84 ribu desa dan kelurahan dengan keragaman etnis, agama, dan budaya yang sangat kompleks. Ini menjadikan desa sebagai titik paling otentik untuk membangun dan memelihara kerukunan. Survei Indeks Kerukunan Umat Beragama (IKUB) menunjukkan tren yang positif dalam tiga tahun terakhir: dari 73,09 pada 2022 menjadi 76,47 pada 2024. Namun, capaian ini belum sepenuhnya mencerminkan situasi di lapangan.

Banyak desa masih berjuang dengan akses informasi, pendampingan sosial, dan keterbatasan anggaran pembinaan kerukunan. Di sisi lain, di tengah masyarakat urban pun, ancaman polarisasi berbasis identitas kian nyata melalui media sosial dan arus informasi tidak terkendali.

Dalam konteks inilah, sejak 2016, Kementerian Agama melalui PKUB mengembangkan program Desa Sadar Kerukunan (DSK). Hingga 2024, telah terbentuk 451 DSK di 34 provinsi.

Program ini tidak dimaksudkan sebagai simbol seremonial semata, tetapi sebagai model hidup berdampingan yang dapat direplikasi dan dipamerkan secara global. Kami menyadari, masih banyak DSK yang baru berada pada tataran administratif—dibentuk dan dilantik, tetapi belum memiliki aktivitas substantif atau struktur yang berjalan dinamis. Karena itu, tantangan kami ke depan adalah menghidupkan DSK sebagai instrumen strategis kerukunan yang bukan hanya untuk bangsa ini, tapi juga untuk dunia.

Untuk menopang reputasi kerukunan Indonesia di mata dunia, kami menghidupkan kembali Indonesia Interfaith Scholarship (IIS) atau Beasiswa Kerukunan Antariman Indonesia sebagai ruang diplomasi keagamaan yang strategis. IIS bukan sekadar forum akademik, melainkan ajang temu gagasan lintas iman, pertukaran kultural, dan kunjungan langsung ke desa-desa kerukunan yang aktif.

Pada  forum ini, kami mengundang jurnalis internasional, tokoh agama, pemuda lintas negara, dan pemikir global untuk menyaksikan langsung realitas hidup rukun di tengah masyarakat desa Indonesia. Para peserta tidak hanya berdialog, melainkan berinteraksi dengan warga, menginap di homestay warga, serta mengikuti kegiatan lintas agama yang telah menjadi tradisi lokal.

Melalui IIS, kami menempatkan Desa Sadar Kerukunan (DSK) sebagai wajah otentik diplomasi Indonesia. Bukan sebagai etalase rekayasa, melainkan sebagai refleksi keseharian masyarakat Indonesia yang toleran dan kolaboratif. Pendekatan berbasis pengalaman ini menjadikan diplomasi kerukunan lebih konkret dan menyentuh. Ia hadir bukan hanya dalam pertemuan formal, tetapi juga melalui interaksi langsung yang membekas secara kultural dan emosional.

Dalam lanskap global yang penuh kecurigaan antarkelompok, IIS menjadi medium penting untuk menunjukkan bahwa Indonesia memiliki model harmoni yang hidup, tumbuh dari masyarakat, dan layak menjadi kontribusi otentik Indonesia bagi dunia.

Strategi ini tentu tidak luput dari tantangan. Salah satunya adalah keterbatasan regulasi dan koordinasi. PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 yang selama ini menjadi acuan pembinaan kerukunan belum cukup kuat dalam memberikan landasan fiskal maupun lintas sektoral.

Banyak pemerintah daerah belum menjadikan DSK sebagai program prioritas. Tantangan lainnya adalah sumber daya manusia dan kapasitas kelembagaan di desa yang belum merata, serta resistensi sosial yang masih muncul di wilayah-wilayah yang homogen secara keagamaan. Oleh karena itu, penting untuk menyediakan mekanisme insentif dan pelatihan bagi aparatur desa serta menjadikan DSK bagian dari RPJMD dan RPJMDes agar tercantum secara formal dalam perencanaan pembangunan daerah.

Di tengah masifnya budaya digital, strategi ini juga tidak akan maksimal tanpa narasi publik yang kuat. Kami menggerakkan kampanye digital melalui kolaborasi dengan konten kreator, travel vlogger, influencer muda lintas iman, dan komunitas kreatif, agar DSK dapat dikenalkan sebagai bagian dari gaya hidup damai yang membanggakan, bukan sekadar proyek pemerintah.

Narasi-narasi visual seperti gotong royong lintas agama, tradisi sedekah bumi multikultural, atau suasana hangat saat warga bergotong royong membangun rumah ibadah, menjadi materi autentik yang lebih ampuh disampaikan melalui media sosial dan platform video. Dengan pendekatan ini, DSK tak hanya hadir dalam forum formal, tapi juga hidup dalam kesadaran digital generasi muda di dalam dan luar negeri.

Kami juga mendorong partisipasi publik yang lebih besar. Kerukunan tidak akan terwujud hanya dengan inisiatif dari negara. Tokoh agama lokal, penyuluh, guru, karang taruna, dan organisasi pemuda desa adalah ujung tombak yang harus dilibatkan. Perluasan literasi kerukunan melalui modul pembinaan, lomba antar-DSK, program pertukaran pemuda lintas iman, dan kemitraan dengan pesantren serta gereja lokal akan memberikan nyawa bagi DSK yang lebih hidup dan berkelanjutan.

Seluruh strategi ini kami lengkapi dengan inisiatif Sertifikasi Desa Rukun Aktif, Festival Kerukunan Desa, serta dokumentasi video yang bisa ditayangkan dalam kanal-kanal nasional dan internasional. DSK bukan lagi proyek seremonial, melainkan desain besar untuk menghadirkan wajah Indonesia yang damai dan bermartabat. Di saat dunia gamang menghadapi radikalisme identitas dan konflik keagamaan, Indonesia harus tampil sebagai penyeimbang global melalui teladan praksis.

Kini saatnya kita memastikan bahwa kerukunan tidak hanya hadir di ruang pidato dan teks regulasi. Ia harus hidup di desa, di jalan-jalan kampung, di wajah para ibu yang menyambut tetangganya lintas agama, di gotong royong membangun mushola dan gereja yang berdiri berdampingan. Bila kita mampu menjadikannya sistematis, terstruktur, dan terpublikasi secara global, maka kita tidak hanya menjaga kerukunan, tetapi juga memperkenalkannya sebagai kontribusi Indonesia bagi dunia.

Penulis: Dr Muhammad Adib Abdushomad, M.Ag, M.Ed, Ph.D (Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama, Kementerian Agama RI)

Share post:

Subscribe

spot_imgspot_img

Popular

More like this
Related

Bank Dunia Ubah Standar Garis Kemiskinan, Orang Miskin Indonesia Capai 194,271 Juta Jiwa

BRIEF.ID - Bank Dunia mengubah standar garis kemiskinan internasional,...

Diguncang Konflik Israel-Iran, Diprediksi IHSG Berpotensi Melemah

BRIEF.ID – Arah pelemahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)...

PM Lawrence Wong: Selamat Datang ke Singapura, Presiden Prabowo

BRIEF.ID - Perdana Menteri (PM) Singapura Lawrence Wong menyambut...

Cegah Penyebaran Covid-19, Jemaah Haji Wajib Terapkan Protokol Kesehatan

BRIEF.ID - Kementerian Kesehatan mengimbau jamaah yang sedang mengalami...